Tekanan Yuridis Elektoral Penyebab Perebutan Kursi Ketua Partai Politik di Bukittinggi
Tekanan Yuridis Elektoral Penyebab Perebutan Kursi Ketua Partai Politik di Bukittinggi
Oleh Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
"Revolusi Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti diciptakan beberapa gelitir orang Indonesia yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja." - Tan Malaka
Kita telah mendengar kabar terjadinya kericuhan dalam pemilihan Ketua DPD salah satu partai besar di Bukittinggi. Dan juga sebelumnya pernah juga menerpa salah satu partai besar lainnya. Dari beberapa peristiwa suksesi partai politik di Kota Bung Hatta terlihat adanya dugaan oligarki. Kita harus segera belajar dan segera mencari solusi dari adanya dugaan oligarki secara bersama-sama sebelum terlambat untuk kemaslahatan kota.
Untuk menjawab dugaan adanya oligarki apa tidak, kita lihat terlebih dahulu terminologi oligarki secara harafiah, yaitu pemerintahan yang dikendalikan oleh “kelompok kecil elit”. Keberadaan elit tersebut berada di pucuk pimpinan partai politik dan kelompok penekan lain yang berpengaruh. Begitu juga dengan pendapat Jeffrey A Winters dalam bukunya “Oligarhy” yang menjelaskan bahwa oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal yang tidak terbatas. Kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Dengan demikian, oligarki selalu berorientasi memainkan kekuasaan sesuai dengan keinginan para elite dan kelompoknya. Dan inilah yang harus kita cegah untuk eksistensi demokrasi subtantif di Kota Bung Hatta.
Epicentrum Tekanan Yuridis Elektoral Penyebab Perebutan Kursi Ketua Partai Politik
Praktik oligarki ini kalau tidak diakhiri akan merusak kota. Salah satu dampaknya demokrasi yang mengarah kepada oligarki kekuasaan berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum, minimal penegakan hukum dalam tubuh internal partai politik itu sendiri terkait AD/ART partai yang mudah saja untuk dilangkahi. Dan oligarki akan semakin menjadi mudharat jika kelompok masyarakat kita yang datang ke bilik pemungutan suara merupakan naif and passive voter (pemilih yang tak mengerti apa-apa).
Kita pun teringat pertanyaan dari vlog salah satu politisi Bukittinggi, yang bertanya kita tidak tahu apa tujuan mereka, kenapa dia begitu (mengincar kepemimpinan partai politik)? Epicentrum pertama menguatnya incaran oligarki kepada partai politik karna adanya tekanan yuridis elektoral dari Pasal 40 dan 41 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yakni dipersulitnya aturan untuk calon independen dan adanya tuntutan dari aturan pemilihan walikota yang mana terus meningkatnya ambang batas pencalonan walikota. Diketahui, untuk dapat mencalonkan walikota partai politik setidaknya harus memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari Pemilu DPRD sebelumnya.
Lalu epicentrum kedua karna adanya daya tarik yuridis elektoral pula dari Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan ketua umum dan sekretaris jenderal partai nasional, ketua dan sekretaris partai provinsi, dan ketua dan sekretaris partai kabupaten/kota. Karna UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut menegaskan, daftar calon tidak sah jika tidak ada tanda tangan kedua pejabat tersebut.
Mencegah Unbalance Power Akibat Adanya Oligarki
Hal terbaik dalam demokrasi sebuah kota bukan sifat demokratisnya sebenarnya, melainkan kemampuannya mengoreksi demokrasi yang hadir di kota itu sendiri. Agar terjadi saling kontrol untuk menjaga keseimbangan kota (check and balance of power). Agar Kota Bung Hatta secara empiristik bisa terhindar dari terjadinya ketidakseimbangan kekuasaan (unbalance power) akibat adanya oligarki.
Apalagi Tan Malaka sudah mengingatkan kita bahwa revolusi Indonesia, bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti diciptakan beberapa gelitir orang Indonesia, yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada semuanya bangsa asing, baik musuh atau sahabat.
Maka untuk mencegah terjadinya unbalance power, Pertama harus diimbangi dengan konsolidasi masyarakat sipil. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan dan tingkah polah politik yang bertentangan dengan kepentingan publik dan hati nurani publik. Untuk itu civil society harus terkonsolidasi agar oligarki tidak membahayakan Kota Bung Hatta. Kekuatan konsolidasi tersebut mampu melakukan kontrol sosial yang efektif terhadap kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Kedua, fungsi partai politik harus dilindungi dari oligarki. Dengan menjaga netralitas Mahkamah Partai Politik dan anggota partai yang mematuhi AD/ART partai. Ini sangat berdasar sesuai dengan amanat Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yaitu dengan adanya peran Mahkamah Partai Politik dalam memperbaiki iklim konflik internal partai politik.
Partai politik jadi incaran karna esensi yang melekat pada diri partai politik adalah esensi demokrasi. Partai politik sering disebut sebagai tiangnya demokrasi. Bahkan, salah satu prasyarat negara demokrasi harus memiliki partai politik. Untuk itu oligarki harus dijauhkan dari partai politik agar tercipta demokraai yang substantif.
Partai harus dijalankan dengan efektif agar proses demokratisasi menginternalisasi ke dalam kelembagaan politik di pemerintahan kota, untuk terciptanya good governance di Kota Bung Hatta. Karna bila oligarki dibiarkan berada dalam sebuah partai politik kecenderungan akan terjadi kerusakan dan mengancam demokrasi kota yang pada akhirnya merugikan kepada pelayanan masyarakat kota.
Ketiga, perlunya regulasi dalam produk legislasi yang tegas di internal dan eksternal partai politik untuk mencegah oligarki di partai politik. Karna hukum atau regulasi memang antara lain bertugas membatasi atau melarang demi sebuah tujuan luhur politik.(*)
Komentar
Posting Komentar