Revisi Aturan Ketenagakerjaan

-Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13/2003 menjadi penting, terutama karena sudah banyak pasal-pasal dalam undang-undang yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Asosiasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh sudah mengajukan usulan perubahan karena masing-masing merasa tidak cukup terlindungi dengan undang-undang ini. Kementerian Ketenagakerjaan juga sedang melakukan kajian untuk merevisi UU Nomor 13/2003.

-Saat ini ada dua model perjanjian kerja dalam UU Nomor 13/2003, perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Pengusaha cenderung ingin menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu karena lebih fleksibel bagi usaha mereka dan tidak ada kewajiban membayar pesangon ketika perjanjian kerja berakhir. Akan tetapi, pekerja menginginkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang lebih memberikan jaminan jangka panjang dan dapat menikmati uang pesangon apabila ada pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha.

-Undang-undang lain yang terkait yaitu UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini seharusnya memperkuat posisi pekerja yang berserikat untuk mendorong kesetaraan di hadapan pengusaha. Kenyataannya, menurut catatan Kemenaker, hanya 2,7 juta pekerja yang berserikat. Jauh menurun dibandingkan awal 2000-an yang jumlahnya 9 juta pekerja. Sedangkan di sisi lain, jumlah konfederasi serikat pekerja/buruh jauh meningkat, dari tiga di awal 2000-an menjadi 14 konfederasi serikat pekerja/buruh.

-Artinya, buruh makin terpecah-pecah dalam banyak organisasi. Ini dikeluhkan tidak hanya oleh pekerja karena daya tawar mereka menjadi lebih rendah, tetapi juga oleh pengusaha karena sulit menentukan mitra berundingnya.

-Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 diterbitkan, beberapa serikat pekerja/buruh menolak, terutama karena peran mereka dalam dewan pengupahan menjadi sangat terbatas.

- PP Nomor 78/2015 memberikan prediktabilitas karena upah minimum ditetapkan secara matematis sesuai dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

-Serikat pekerja juga menyatakan, PP 78/2015 tidak mengurangi kesenjangan antardaerah karena daerah yang upah minimumnya sudah tinggi akan naik lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang upah minimumnya lebih rendah karena patokan kenaikannya adalah persentase.

-UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dikritik karena berkontribusi pada tumpang tindihnya jaminan sosial yang harus dibayar oleh pengusaha dan pekerja, yang sudah diatur oleh UU Nomor 13/2003. Ada jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang serupa, tapi tak sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Bedanya Alfamart, Indomaret dan Niagara?

Ketua PPKHI Bukittinggi Apresiasi Keberhasilan Guguk Bulek Juara Kelurahan Berprestasi 2021

Ketua PPKHI Bukittinggi : Selamat Hari Perempuan Internasional, Pertahankan Keistimewaan Perempuan Minang

Kedai Musamie Bukittinggi, Inovasi Mie Pedas dari Anak Nagari, dan Peran Pemda dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif

Belajar dari Penangkapan Munarman

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi: Penghormatan kepada Buruh Tak Hanya Pesan HAM tapi juga Pesan Spiritual Islam

Hari Lahir Pancasila dan Peran Pengacara Bukittinggi sebagai Officium Nobile di Era Pandemi

Riyan : Jangan ada Intimidasi di Alek Gadang Pilkada Badunsanak Kota Bukittinggi

Ketua Dewan Pembina DPN PPKHI Apresiasi Keberhasilan Ketua PPKHI Bukittinggi yang Berperan dalam Tim Hukum yang Mengharuskan KPU Melakukan Verifikasi Faktual Ulang Pertama di Indonesia terhadap Bapaslon Independen

Lakatas Gelar Buka Bersama dan Mubes