Riyan : Kelok 9 Butuh Satgas Pengawas Jembatan ala Golden Gate
Riyan : Kelok 9 Butuh Satgas Pengawas Jembatan ala Golden Gate
Sebagaimana kita ketahui telah ada seorang warga yang jatuh di Kelok 9, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat (Sumbar), Minggu (25/10/2020) ia ditemukan meninggal dunia dengan diduga sengaja melakukan bunuh diri lantaran persoalan ekonomi. Kelok 9 membutuhkan Satuan Tugas (satgas) pengawas jembatan. Jangan sampai Kelok 9 berubah menjadi Hutan Aokigahara di Jepang. Hutan Aokigahara adalah tempat bunuh diri yang paling banyak menelan korban di Jepang dan nomor dua di dunia setelah jembatan Golden Gate di Amerika Serikat. Golden Gate selesai dibangun pada tahun 1937. Golden Gate ini merupakan jembatan gantung tertinggi dan terpanjang di dunia. Tak jauh berbeda dengan Kelok 9 juga menjadi landmark Sumbar dan simbol Kabupaten Lima Puluh Kota, Golden Gate pun demikian ia juga menjadi landmark Amerika Serikat dan simbol San Francisco.
Namun ada yang berbeda, Golden Gate telah visioner dengan memiliki satgas pengawas jembatan atau tim sukarelawan yang berdedikasi untuk mendeteksi calon peloncat dan berusaha menghentikannya. Mereka menyelamatkan nyawa manusia dengan metode sederhana: mendengarkan masalah mereka. Oleh karna itu, sudah sepatutnya jembatan kebanggaan orang Sumbar dan Kabupaten Lima Puluh Kota ini juga memikirkan sesuatu yang visioner ke depan untuk perkembangan jembatan. Selain dari tim relawan, satgas pengawas ini bisa juga terdiri dari instansi pemerintah dalam hal ini pihak Kepolisian, Kementrian Perhubungan, Kementrian Kesehatan, dan instansi lainnya yang terkait baik dari Provinsi Sumbar maupun Kabupaten Lima Puluh Kota agar melakukan monitoring, pantauan, dan imbauan. Sembari tetap mensosialisasikan himbauan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 dan penegakan hukumnya agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan sehingga tidak tertular Covid-19 serta mencegah aksi bunuh diri di Kelok 9 terulang kembali.
Kenapa perlu satgas pengawas? "Karena tidak ada yang datang ke jembatan untuk bunuh diri. Mereka hanya ingin tahu bahwa seseorang peduli dengan mereka." Kalimat itu adalah pernyataan Kevin Hines, yang mencoba mengakhiri hidupnya dengan loncat dari Jembatan Golden Gate di San Francisco, pada September tahun 2000 yang lalu. Jika kita melihat data dari Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) bahkan memprediksi, depresi akan menjadi penyakit dengan angka kasus tertinggi kedua, setelah penyakit jantung.
Datanya yaitu ada 800 ribu jiwa meninggal dunia akibat bunuh diri, per tahun. Artinya, tindakan bunuh diri telah merenggut 1 korban jiwa setiap 40 detik. Di Indonesia hingga tahun 2012, diketahui ada 9.106 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat bunuh diri. Sebelumnya, pada periode 1990-2016, jumlahnya sebanyak 8.580 jiwa. Jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia, diprediksi merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data WHO, per Juli 2019, dari ratusan juta penduduk di Indonesia, satu orang meninggal dunia akibat bunuh diri per 1 jam. Laporan WHO menjelaskan pemicu bunuh diri salah satunya yakni gangguan mental seperti depresi dan konsumsi alkohol berlebihan. Pemicu lainnya yakni masalah ekonomi, masalah pribadi seperti percintaan, trauma, dan penyakit yang diderita. Menurut Health Metrics and Evaluation (IHME), faktor yang menyumbang besarnya jumlah angka bunuh diri di Indonesia adalah depresi. Di Indonesia, saat ini diperkirakan terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi. Gangguan mental kerap terjadi menimpa siapa saja, ganguan mental jangan dianggap sepele bisa jadi membahayakan jiwa. Pada umumnya yang sering terjadi adalah stres jika tidak ditangani dengan tepat bahkan bisa berlanjut dengan depresi.
Diperkuat juga dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Dari ketentuan hukum di atas dapat kita ketahui bahwa orang yang memiliki gangguan mental/kejiwaan dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh perawatan dan kehidupan layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Semoga kasus bunuh diri di Kelok 9 tak terulang lagi dan dapat diminimalisir oleh pemerintah bersama-sama dengan elemen sukarelawan yang terdiri dari masyarakat yang peduli dengan kesehatan mental. Didukung juga dengan pencegahan bunuh diri dengan pemerintah daerah menyusun strategi untuk mencegah peningkatan upaya bunuh diri melalui program pendidikan, sekolah atau institusi pendidikan untuk memasukkan materi terkait gangguan mental, depresi, dan bunuh diri, mengenalkan konsumsi alkohol yang tidak berlebihan, identifikasi dini untuk penderita depresi, gangguan mental, gangguan kepribadian, penyakit akut, dan stres. Para penderita kesehatan mental perlu mendapatkan penanganan, baik dari psikolog atau psikiater. Mereka juga perlu mendapatkan pelatihan bagaimana mengelola emosi dan bagaimana mencegah perilaku yang mengarah ke bunuh diri. Terakhir, penting bagi orang-orang sekitar untuk terus mengajak berkomunikasi para penderita gangguan mental yang pernah mencoba bunuh diri. Sesekali bertanya kabar menjadi langkah sederhana yang penting dilakukan.(*)
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Kota Bukittinggi)
Komentar
Posting Komentar