Hak Keagamaan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Kelas II A Bukittinggi


Hak Keagamaan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakat (Lapas) Kelas II A Bukittinggi

Oleh : Riyan Permana Putra, S.H., M.H.  

Tulisan ini penulis tulis terinspirasi dari adanya seorang warga binaan Lapas Bukittinggi memutuskan menjadi mualaf dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat sebagai syarat masuk Islam di Mesjid At Taubah Lapas Bukittinggi pada Bulan Januari 2020 ini. Kebetulan penulis yang tergabung dalam Kantor Hukum Armen Bakar ikut membantu Rudi Anto Simarmata untuk meminta tanda tangan surat pernyataan bahwa saudara telah mengetahui Rudi Anto Simarmata bahwa dia masuk Islam.  Saat penulis meminta tanda tangan tersebut, penulis mendengar langsung dari saudara Rudi Anto Simarmata bahwa dua orang saudaranya telah lebih dulu memeluk agama Islam.

Rudi Anto Simarmata (yang telah berumur 40), ia mantap pindah keyakinan dari Kristen ke Islam karena sering mendengarkan indahnya alunan suara azan di mesjid Lapas. Rudi Anto Simarmata mengucapkan dua kalimat Syahadat yang dipandu oleh H. Abdul Aziz, Pengurus MUI Kecamatan Ampek Angkek. Hadir sebagai saksi, Kasi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik Lapas Bukittinggi dan salah seorang warga binaan, Arif Rahmat atau lebih dikenal dengan Temok.

Meskipun, Rudi Anto Simarmata terbata-bata mengucapkan dua kalimat Syahadat, namun berjalan sukses yang disaksikan Kalapas Bukittinggi, Pengacara Armen Bakar, Owner Rumah Makan Family Benteng Yul Bray dan rekan-rekannya sesama warga binaan. Rudi Anto Simarmata mengatakan, agama Islam itu Indah dan damai, sebab selama ini dia tidak menemukan kedamaian dan tujuan hidup. Namun setelah mempelajari agama Islam hatinya menjadi damai. Dalam berita yang penulis kutip dari Koran Haluan, Rudi Anto Simarmata mengungkapkan bahwa keluarganya telah mengetahui bahwa dia masuk Islam.

Tinjauan Yuridis Hak Keagamaan Warga Binaan

Berkaitan dengan perlindungan HAM terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan, sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa warga binaan berhak melakukan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan  dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan  bacaan  dan  mengikuti  siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, mendapatkan upah dan premi atas pekerjaan yang dilakukan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang lainnya, mendapatkan remisi dan asimilasi termasuk cuti menjelang bebas, dan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Lebih khusus lagi, mengenai hak-hak warga binaan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006, dan diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Tentang hak narapidana dalam beribadah atau dibidang keagaaman ini dijelaskan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Pasal 2 berbunyi:
“(1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
(2) Ibadah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di dalam Lapas atau di luar
Lapas, sesuai dengan program pembinaan.
(3) Tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.”

Pasal 3 berbunyi:
“(1) Pada setiap Lapas wajib disediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan
keagamaan.
(2) Jumlah Petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disesuaikan dengan keperluan tiap-tiap Lapas berdasarkan pertimbangan Kepala Lapas.
(3) Dalam melaksanakan pendidikan dan bimbingan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Kepala Lapas setempat dapat mengadakan kerja sama dengan instansi terkait,
badan kemasyarakatan, atau perorangan.”

Dan Pasal 4 berbunyi:
“Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan
bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya.”

Jadi, dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dijamin hak setiap warga binaan Pemasyarakatan untuk untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Lalu pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas wajib menyediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan. Selanjutnya di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dijelaskan kewajiban bahwa Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Hak keagamaan warga binaan sangat perlu dipenuhi oleh Lapas Bukittinggi apalagi populasi warga binaan di Lapas Bukittinggi jumlahnya meningkat tajam. Pada tahun 2018 hanya berkisar 300 orang warga binaan. Lalu pada 2019 jumlahnya meningkat sekitar seratus persen menjadi 603 orang. Jika dilihat dari segi standar penghuni Lapas Bukittinggi hanya dapat menampung 250 orang warga binaan. Yang mana dua pertiganya merupakan warga binaan yang tersandung kasus narkotika dan pelaku didominasi oleh usia produktif. Kita berharap dengan dipenuhinya hak keagamaan di Lapas Bukittinggi, semoga di masa mendatang jumlah tindak pidana dapat berkurang dan warga binaan benar-benar lepas dari tindak pidana yang pernah mereka lakukan.

Terkait pemenuhan fasilitas keagamaan, Lapas Bukittinggi telah meraih penghargaan dari Kementerian Hukum dan HAM RI Penghargaan tersebut diberikan atas upayanya dalam pelayanan publik berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dengan predikat sangat memuaskan yang diserahkan langsung Dirjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI, DR. Mualimin Abdi, SH. MH di Jakarta belum lama ini pada Desember 2019 lalu. Lapas Bukittinggi telah melakukan pelayanan publik berbasis HAM. Kriteria penilaian itu meliputi, layanan kunjungan masyarakat ke Lapas seperti menyiapkan fasilitas kursi roda, ruang tempat ibu yang menyusui bayi, fasilitas untuk orang disabilitas, jalan landai untuk pengguna kursi roda, WC, dan tempat beribadah serta fasilitas lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Bedanya Alfamart, Indomaret dan Niagara?

Riyan : Jangan ada Intimidasi di Alek Gadang Pilkada Badunsanak Kota Bukittinggi

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Riyan : Kelok 9 Butuh Satgas Pengawas Jembatan ala Golden Gate

Kantor Hukum Riyan Permana Putra, S.H., M.H., & Rekan serta Kantor DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Telah Dibuka di Jalan Sutan Sjahrir Kota Bukittinggi

Wakil Walikota Bukittinggi Pertanyakan Legal Standing Pengacara yang akan Menggugat Jika Perwako 40/41 Dicabut

Jalan Tengah Polemik Pasa Pabukoan di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bukittinggi

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi: Penghormatan kepada Buruh Tak Hanya Pesan HAM tapi juga Pesan Spiritual Islam

Hari Lahir Pancasila dan Peran Pengacara Bukittinggi sebagai Officium Nobile di Era Pandemi

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi