Membela Anak Sawahlunto yang Berhadapan dengan Hukum

Membela Anak Sawahlunto yang Berhadapan dengan Hukum
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H.,M.H.

Tulisan ini penulis tulis terinspirasi saat mengikuti kasus anak Sawahlunto yang berhadapan dengan hukum. Selain itu tulisan ini juga penulis tulis untuk melaksanakan Pasal 25 UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan anak yang mewajibkan anggota masyarakat untuk turut serta mewujudkan perlindungan terhadap anak. Terkait kasus anak Sawahlunto ini, Pasal yang dituduhkan pada anak Sawahlunto yang berhadapan dengan hukum adalah Pasal 363 KUHP karena jaksa menduga anak tersebut melakukan pencurian dengan pemberatan, bisa kita lihat Pasal 363 ayat (1) ke-4 Dilakukan oleh 2 orang bersama-sama atau lebih serta adalah Pasal 363 ayat (1) ke-5 Dilakukan dengan cara membongkar, memecah atau memanjat ataudengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Pada tahun 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya kenaikan jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum. Data kenaikan  berdasarkan pengaduan yang masuk ke KPAI selama 2018. Kasus anak berhadapan dengan hukum  mencapai 1.434 kasus. Lalu pada tahun 2019 lalu Ranah Minang pernah dikejutkan dengan kejadian yang sangat menyayat hati, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh 17 santri Nurul Ikhlas Padang Panjang mereka dijerat Pasal 80 ayat 1, 2 jo Pasal 76 C UU Perlindungan Anak karena melakukan pembunuhan terhadap R (penyebutan berdasarkan inisial ini sesuai dengan Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan denganhukum berhak dirahasiakan) yang juga merupakan santri di Pesantren Nurul Ikhlas Padang Panjang.

Berdasarkan informasi Koran Kompas pada Bulan Mei 2019, Para pelaku ini mengeroyok R selama 4 hari di salah satu kamar lantai 2 gedung Asrama Musa, Pondok Pesantren Nurul Ikhlas yang berlokasi di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, Nagari Panyalaian, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar. Menyebabkan R tidak sadarkan diri hingga koma. Setelah koma 8 hari, akhirnya R meninggal dunia. Peristiwa ini tentu sangat ironis, ini terjadi bukan di luar negeri, tapi di Indonesia yang masyarakatnya mengedepankan sopan santun serta memegang adat istiadat dengan didikan agama yang kuat.

Tidak Boleh Dilakukan Penahanan Terhadap Anak yang Memperoleh Jaminan

Terkait penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Pertama kali yang harus kita lakukan melihat Pasal yang diancamkan kepada anak yang berhadapan dengan hukum serta umur anak yang berhadapan dengan hukum. Jika ditemui bahwa hukuman yang ditujukan kepada anak tersebut bukan 7 tahun atau usia anak belum 14 tahun, penahanan yang dilakukan bertentangan dengan Pasal 32 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat Anak telah berusia 14 tahun dan disangka melakukan tindak pidana yang ancaman maksimalnya 7 tahun atau lebih.


Terkait kasus santri Nurul Ikhlas dan Anak Sawahlunto yang penulis ikuti, terhadap anak tidak dilakukan penahanan karena sesuai dengan ketentuan Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan “Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh jaminan dari orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau merusak barang bukti atau tidak akan mengulangi tindak pidana.” Selain dengan pertimbangan kemanusiaan, pelaku yang masih berstatus pelajar juga dijamin oleh pihak Ponpes. Tak jauh berbeda, kasus anak Sawahlunto juga tidak dilakukan penahanan karena dijamin oleh pihak keluarga.

Kedua, terkait dengan proses penyidikan, penasehat hukum/advokat anak yang berhadapan dengan hukum dapat meminta KPAI atau pun Pusat Pelayanan Terpadu Pembemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang setempat, karena ini berada di Sawahlunto, tentu saja yang akan kita mintakan pendampingan advokasi adalah P2TP2A Sawahlunto. Karena salah satu tugas P2TP2A yang tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2010 tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu  adalah untuk memberikan layanan bantuan hukum.  

Sehingga bisa dipastikan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak tercapai, seperti: ”a. hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.”  Serta mendorong agar kepolisian melaksanakan proses diversi jika sesuai dengan Pasal 32 UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Perkembangan Sistem Peradilan Anak di Indonesia

Di Indonesia, sistem peradilan pidana anak bertumpu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Konsiderans UU Pengadilan Anak menyatakan, tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di Indonesia yaitu memberikan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang.

Setelah reformasi, penjaminan anak agar diproses dan diperlakukan sesuai haknya dan demi mewujudkan kondisi terbaik bagi anak sebagaimana UU Pengadilan Anak dikuatkan oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). Sebelumnya, terdapat pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara umum memuat hak-hak dasar anak yang harus dilindungi, termasuk ketika dihadapkan dengan proses hukum. Upaya terbaru yang telah dilakukan adalah penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU baru yang menggantikan UU Pengadilan Anak ini memuat beberapa perubahan penting terutama dalam mewujudkan restorative justice bagi anak. Hak anak merupakan hak konstitusi, yang dirumuskan dalam Amandemen II Konstitusi. Kemudian dirumuskan dalam BAB khusus dalam UU HAM, dan ditegaskan kembali dalam UU Perlindungan Anak, yang sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang meratifikasi Convention on the Right of the Child.

Mengutamakan Diversi

Banyak kasus pidana anak yang harusnya bisa selesai tanpa persidangan dapat didiversi atau diselesaikan diluar persidangan. Padahal dengan masuk persidangan anak bisa merasa trauma karena akan mendapat stigma buruk yang akan berpengaruh kepada tumbuh kembang anak. Penegak hukum dalam melaksanakan tugas baik penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan penentuan putusan perkara pada sidang pengadilan hendaknya mengutamakan penerapan diversi sebagai salah satu alternatif dari penerapan pidana penjara. 

Perlu dilakukan sosialisasi secara masif mengenai diversi kepada masyarakat. Hendaknya pemerintah menyediakan sarana dan prasarana diversi dalam rangka memberikan jaminan perlindungan kepada anak. Diversi bukanlah sebuah upaya damaiantara anak yang berkonflik dengan hukum dengan korban atau keluarganya akan tetapi sebuah bentuk pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dengan cara nonformal. penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan anak, merupakan implementasi sistem dalam keadilan restoratif untuk memberikan keadilan dan perlindungan hukum kepada anak yang berkonflik dengan hukum tanpa mengabaikan pertanggungjawaban pidana anak.

Karena jika proses formal layaknya orang dewasa dengan melalui proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, proses penuntutan oleh kejaksaan dan persidangan di pengadilan. Proses formal yang panjang inilah melahirkan beberapa pemikiran baik dari kalangan ilmuan maupun aparat penegak hukum untuk mencari alternatif penanganan yang terbaik untuk anak dengan semaksimal mungkin menjauhkan anak dari sistem peradilan formal.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

Esensi Peradilan Anak

Proses peradilan terhadap anak seringkali kehilangan makna esensinya, yaitu sebagai mekanisme yang harus berakhir dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Dalam perkembangan hukum pidana, telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi peradilan pidana anak, yang awalnya adalah retributive justice, kemudian berubah menjadi rehabilitation, lalu yang terakhir menjadi restorative justice. Sistem Peradilan Pidana Anak tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian sejalan dengan tujuan penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak yang dikehendaki oleh dunia internasional.

Selanjutnya ada hal menarik yang harus diperhatikan, seperti pada Pasal 40 UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang menjelaskan Pejabat yang melakukan penangkapan terhadap anak wajib memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum, dan untuk menjaga proses tetap berjalan sesuai hukum, dalam hal pejabat tidak melakukan pemberitahuan sebagaimana yang mestinya, maka penangkapan terhadap Anak batal demi hukum. Serta dapat dijelaskan juga kepada Majelis Hakim bahwa Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.

Dalam Pasal 55 ayat 1 dan 2 dijelaskan Selama persidangan berlangsung hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak. Apabila orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan. Apabila dari semua pendamping yang ditunjuk tidak ada yang hadir namun hakim tetap melanjutkan persidangan, maka sidang Anak batal demi hukum.
Gambaran ini telah didapatkan dalam berbagai Putusan pengadilan terhadap tersangka/terdakwa yang tidak memperoleh bantuan hukum. Putusan Mahkamah Agung RI dengan No 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998, misalnya, yang pada pokoknya menyatakan “bahwa bila tak didampingi oleh penasihat hukum di tingkat penyidikan maka bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, hingga BAP penyidikan dan penuntut umum batal demi hukum dan karenanya tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang pengadilan didampingi penasihat hukum.”

Dalam kasus pidana anak, Putusan PN Jakarta Pusat No 728/PID.B/2011/PN.JKT.PST tertanggal 11 Mei 2011 dan Putusan PN Jakarta Pusat No 1606/PID.B/2011 tertanggal 3 Oktober 2011 menyatakan: “berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang sebagaimana tersebut di atas, khususnya ketentuan Pasal 51 UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka jelas hak ABH, khususnya anak sebagai Terdakwa, terdapat perintah wajib dari UU untuk di dampingi penasehat hukum.”

Jika kita lihat dari pembahasan di atas isu perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan program lintas bidang yang banyak melibatkan dinas/instansi vertikal terkait. Apalagi jika kita lihat dalam peradilan anak itu ada penyidik anak, penuntut umum anak, hakim anak dan petugas pemasyarakatan. Oleh karena itu perlu dikoordinasikan dengan baik sehingga tercipta keterpaduan, kerjasama, dan hubungan kerja yang baik antara semua pihak sehingga diharapkan SPPA dapat terlaksana dengan optimal. Sehingga, dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum mulai dari proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, namun harus dimaknai secara luas akar permasalahan mengapa anak melakukan tindak pidana. Diperlukan pula upaya untuk mencegah anak tidak berhadapan dengan hukum.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online