Bukittinggi, Covid-19, dan Humanisme Religius (Langkah Hukum Jika Rumah Sakit di Bukittinggi Menolak Ibu Hamil)


Bukittinggi, Covid-19, dan Humanisme Religius (Langkah Hukum Jika Rumah Sakit di Bukittinggi Menolak Ibu Hamil)
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

“Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya.” - Che Gue Vara

Beberapa hari yang lalu, tepatnya di hari ketujuh Bulan Ramadhan 1441 Hijriah, kita sungguh terkejut di Kota Bukittinggi ada ibu hamil yang mau melahirkan ditolak Rumah Sakit dan harus jalan kaki 5 (lima) km. Peristiwa ini terjadi di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Bukittinggi. Kronologisnya, pasangan suami istri, Danang Sauri (27) dan Diana warga Kelurahan Tarok Dipo, Guguak Panjang yang sedang hamil tua ditolak saat rumah sakit (RS) dan lima klinik bidan bersalin saat akan melahirkan bayinya.

Kajian Yuridis Penolakan Ibu Hamil oleh Rumah Sakit di Bukittinggi

Sangat jelas kita ketahui, ada sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Seharusnya walikota atau pun pejabat terkait melihat Pasal 29 UU Rumah Sakit, dan melakukan teguran keras kepada rumah sakit yang melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah Sakit, rumah sakit tersebut dapat dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2) UU Rumah Sakit): a.    teguran; b.    teguran tertulis; atau c.    denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Sebabnya, di Pasal 29 ayat 1 f UU Rumah Sakit disebutkan setiap RS berkewajiban melaksanakan fungsi sosial, antara lain memberikan fasilitas pe­layanan bagi pasien tidak mampu dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka. Aturan di BPJS Kesehatan pun menyebutkan setiap RS termasuk yang belum beker­ja sama dengan BPJS bisa menagih biaya penanganan pasien yang dalam kondisi darurat ke BPJS. Setelah kondisi pasien normal, baru pihak RS merujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS.

Serta ibu hamil tersebut juga dapat melakukan berbagai langkah litigasi terhadap rumah sakit di Bukittinggi yang menolaknya tersebut. Ibu tersebut bisa menuntut Rumah Sakit baik secara perdata maupun secara pidana. Dasar hukumnya, Pasal 32 huruf q Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), berbunyi: “Setiap pasien mempunyai hak: menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;”.

Secara perdata, ibu hamil tersebut juga bisa mengajukan gugatan ke pengadilan atau melalui Badan penyelesaian sengketa konsumen terhadap rumah sakit yang akibat tindakannya telah merugikan pasien (lihat juga pasal 1365 KUH Perdata). Atau bisa juga menempuh jalur pidana dengan melaporkan pimpinan rumah sakit dan/atau tenaga kesehatannya ke polisi. Dasar hukumnya Pasal 32 ayat 2 jo Pasal 190 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, berbunyi:
Pasal 32 ayat 2:

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”

Pasal 190 ayat (1):

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Ayat (2):

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Berdasarkan pasal di atas, jelas bahwa pimpinan rumah sakit dan/atau tenaga kesehatan yang menolak pasien dan/atau meminta uang muka, dapat dituntut secara pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Dan apabila hal tersebut menyebabkan terjadinya kecacatan atau kematian pada pasien, maka ancaman pidananya lebih berat yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Belajar dari kasus penolakan ibu hamil yang dilakukan rumah sakit di Bukittinggi. Dalam keadaan seperti inilah, kemanusian kita sebagai satu kesatuan bangsa dan negara sedang diuji. Bukan untung, bukan rugi yang dipikirkan oleh rumah sakit. Namun bagaimana nilai-nilai kemanusian itu kita jadikan landasan untuk membantu sesama kita dalam keadaan yang membutuhkan bantuan kesehatan. Dan Rumah sakit sebagai titik nadir perawatan pasien dengan berbagai keluhan kesehatan harus benar-bemar menjadi aktor utama dalam kasus ini. Kami sadar bahwa visi rumah sakit adalah modal untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Namun seharusnya itu tanpa membeda-bedakan pasien atau siapapun, bukan lagi urusan citra atau nilai jual, maka kita sedang melakukan perbuatan yang lebih besar dari itu.

Bertentangan dengan Nilai Humanisme Religius Islam

Apalagi jika kita lihat nilai humanisme religius dalam Islam, terutama sebelum agama Islam datang dibawa Nabi besar Muhammad, umat manusia di dunia dilanda permusuhan dan kebencian antar suatu bangsa dengan bangsa lainnya, permusuhan antar ras, suku dan golongan. Kelompok yang satu memusuhi kelompok yang lain, perbudakan terjadi diberbagai bagian dunia, ras diskriminasi, pembagian manusia dengan kasta-kasta, dari kasta yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Dalam kehancuran yang meresahkan itu, Islam datang dengan konsep ajarannya mengenai persamaan hak, kemanusiaan yang luhur, tidak ada perbedaan antara suatu bangsa dengan bangsa lainya, antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, kecuali dengan taqwa yang dimilikinya. Islam mengajarkan bahwa kita semua adalah saudara, kita berasal dari jenis yang sama, tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwa. Ajaran tentang humanisme tergambar dengan jelas melalui pesan-pesan Nabi Muhammad di padang Arafah.

Lebih empat belas abad yang lalu, di padang Arafah yang tandus, yang kini mulai ditumbuhi pohon-pohon menghijau, Rasul Muhammad menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang luhur. Dalam pidato perpisahannya di sana, juga dalam rangka ibadah haji, yang disebut haji wada' atau haji perpisahan, sebagai ibadah haji terakhir sebelum beliau wafat. Rasul yang menjadi rahmat bagi alam semesta itu menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang amat mengharukan dan berkesan sampai kelubuk hati.

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلاَ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلاَلِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى. رواه أحمد والبيهقي

"Wahai manusia, ingatlah , sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan nenek moyangmu juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap bangsa lain. Tidak ada kelebihan bangsa lain terhadap bangsa Arab. Tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah terhadap orang yang berkulit hitam, tidak ada kelebihan orang yang berkulit hitam terhadap yang berkulit merah, kecuali dengan taqwanya.." (HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan al-Haitsami). Pidato perpisahan yang amat singkat itu membuat para sahabat Nabi terharu, sehingga pakaian ihram mereka yang putih bersih itu bersimbah air mata, menandakan pesan itu amat berkesan dan sangat berpengaruh terhadap prilaku mereka.

Misi perdamaian dan persamaan hak inilah yang kemudian dikembangkan dan diperjuangkan para sahabat, sehingga menjadi umat yang besar dan berwibawa yang selalu dikagumi oleh semua bangsa di dunia. Jadi, jika ada rumah sakit yang menolak ibu hamil yang dalam keadaan darurat untuk melahirkan ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai humanisme religius Islam. Apalagi Che Gue Vara yang merupakan tokoh yang fotonya pernah ditempel Ustad Abdul Somad (UAS) di dinding kamarnya dan UAS juga mengungkapkan Che Gue Vara pernah menjadi inspirasi hidupnya. Che Gue Vara adalah peletak dasar filosofis kesehatan negara sosialis Kuba, negara dengan sistem kesehatan terbaik dunia, menyebutkan “Jika Anda bergetar dengan geram setiap melihat ketidakadilan, maka Anda adalah kawan saya.” Kita bergetar dan geram melihat ketidakadilan yang dialami oleh ibu hamil yang ditolak rumah sakit di Bukittinggi.

Karena konsep kemanusiaan dalam Islam begitu luhur, semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita semua adalah bersaudara, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya, kecuali dengan iman dan taqwanya. Dalam beberapa wasiat Nabi Muhammad banyak sekali dipesankan agar umat manusia menjalin persaudaraan serta peduli dengan sesamanya. Nabi bersabda: "Engkau jumpai orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, saling mencintai dan beriba hati antara mereka bagaikan tubuh yang satu..." (H.R. Muttafaq 'alaih). "Siapa yang tidak bersikap kasih terhadap sesamanya, maka Allah tidak akan mengasihinya." (H.R. Muttafaq 'alaih).

Seharusnya kasus penolakan ibu hamil yang dilakukan rumah sakit di Bukittinggi ini tak terulang kembali, apalagi penolakan itu nanti terjadi pada pasien covid-19. Semoga itu tak terjadi, karena pandemi covid-19 bukanlah hanya musuh politisi atau militer apalagi tenaga medis semata. Virus ini adalah musuh kita semua. Jika hanya memikirkan diri kita sendiri, akan mustahil rasanya kita bisa terbebas dari virus tersebut. Jangan sampai penyakit ini terus menyebar dan tak tertangani. Ancaman itu akan semakin nyata dan bisa menimbulkan korban yang lebih banyak. Wallahu A'lam Bishawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

Berapa Lama Waktu dan Biaya yang Dibutuhkan saat Mengurus Cerai di Bukittinggi?

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah