Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Mulyadi, Kampanye Hitam Mengancam Pilkada Badunsanak 2020 di Sumatera Barat
Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Mulyadi, Kampanye Hitam Mengancam
Pilkada Badunsanak 2020 di Sumatera Barat
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
“Pemilihan umum jangan
menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan
bangsa Indonesia.” - Ir. Soekarno
Saat ini, penggunaan internet berkembang sangat pesat.
Terlihat dari jumlah pengguna media sosial di Indonesia semakin bertambah.
Tahun ini, menurut riset dari perusahaan media We Are Social yang bekerja sama
dengan Hootsuite, menyebut ada 150 juta pengguna media sosial di Indonesia.
Jumlah itu naik 20 juta pengguna dibanding hasil riset pada 2018. Masih sama
seperti tahun lalu, Facebook menjadi aplikasi media sosial yang paling banyak
digemari di Indonesia, dengan penetrasi 81 persen. Angka ini sekaligus mencatat
nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook
paling banyak dan keempat di dunia. Tetapi kemajuan Teknologi Informasi justru
menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus dapat menjadi sarana
efektif perbuatan melawan hukum.
Meskipun kita mengetahui kemerdekaan menyatakan pikiran dan
pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat), dan bukan berdasar atas
kekuasaan belaka (machstaat),
Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara
lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan
hak-hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan
sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilar demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan
untuk berpendapat, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan
tidak bisa mengkritisi pemerintah. Dengan demikian tidak akan ada demokrasi.
Namun ada sisi lain dari kebebasan berekspresi yang harus
dipertanggungjawabkan pelakunya, sebagaimana pencemaran nama baik yang
dilakukan terhadap Ir. Mulyadi, Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI). Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk
khusus dari perbuatan melawan hukum. Kasus pencemaran baik terhadap Mulyadi
telah dilaporkan, berdasarkan laporan
yang dibuat Refli Irwandi (40) pada Kamis (4/5/2020) dengan nomor
LP/191/V/2020/SPKT Sbr.
Refli melaporkan dugaan peristiwa pencemaran nama baik
melalui akun Facebook Maryanto yang diduga akun bodong. Akun itu mengunggah
foto yang disertai dengan kalimat ujaran kebencian dan pencemaran nama baik
anggota DPR RI Ir. Mulyadi. Polda Sumbar memeriksa sebanyak 13 orang saksi. Dari
belasan saksi itu, dua di antaranya merupakan Sekda dan Bupati Agam. Polda
Sumbar tetap menindaklanjuti laporan pencemaran nama baik tersebut, walaupun
bukan yang bersangkutan (Ir. Mulyadi) yang melapor. Karena anggota Komisi Hukum DPR
RI asal Sumatera Barat, Ir. Mulyadi mengatakan tidak tahu-menahu laporan dugaan
pencemaran nama baik dirinya via Facebook di Polda Sumatra Barat.
Terkait laporan ini, harus dikonfirmasi kembali atas dasar
apa supir Ir. Mulyadi melaporkan kasus ini kepada polisi. Apakah atas dasar adanya surat kuasa dari Ir. Mulyadi
atau tidak. Jika tidak, ini seharusnya tak dapat diproses. Karena tindak pidana
pencemaran nama baik ini merupakan suatu delik aduan, dimana seseorang yang
mencemarkan nama baik orang lain tidak dapat dituntut apabila tidak ada
pengaduan dari orang yang telah dicemarkan nama baiknya, sebagaimana diatur dalam
Pasal 319 KUHP.
Pembatasan Kebebasan
Ekspresi harus dilakukan Hati-Hati
Konsep pembatasan kebebasan berekspresi yang terdapat pada
Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam praktiknya, pelaksanaan dari suatu jaminan
perlindungan hak memang kerap melahirkan ketegangan. Secara khusus pada kasus
ini ialah antara ketentuan Pasal 19 ICCPR yang melindungi setiap bentuk opini
dan ekspresi, dengan ketentuan Pasal 17 ICCPR yang memberikan perlindungan bagi
privasi seseorang termasuk reputasinya. Dalam rangka menyeimbangkan ketegangan
itu dilahirkanlah prinsip pembatasan, termasuk dalam pelaksanaan hak atas
kebebasan berekspresi.
Di Indonesia pembatasan kebebasan berekspresi, tindak pidana
terhadap kehormatan atau penghinaan atau pencemaran nama baik selain diatur
dalam KUHP juga Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai media pencemaran
nama baik. Namun demikian, penggantian kerugian yang ditimbulkan atas pencemran
nama baik di atur dalam KUHPerdata Pasal 1372-1380 sebagai bentuk perbuatan
melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365.
Dengan alasan itu pula, kemudian menjadi pembenar bagi
eksisnya hukum pencemaran nama baik. Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran
nama bai adalah untuk menjaga dan melindungi reputasi serta privasi seseorang.
Kendati begitu, jika diterapkan dengan tidak hati-hati justru akan menghambat
penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, juga menghambat
akses pihak lain untuk menerima informasi.
Namun ada juga hal yang menjadikan seseorang tidak dapat
dihukum pencemaran nama baik. Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat
dihukum dengan pasal pencemaran nama baik atau penghinaan adalah penyampaian
informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum, untuk membela diri, dan untuk
mengungkapkan kebenaran. Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara
lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu
benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau
fitnah.
Sebenarnya penindakan terhadap pelaku pencemaran nama baik,
membuat kita waspada agar dampak hukum ini tak membawa pengaruh yang mengerikan
bagi insan pers yang merupakan pilar demokrasi. Federasi Wartawan Internasional
(IFJ – International Federation of Journalist), suara dunia para wartawan, yang
mewakili lebih dari 500.000 wartawan di hampir 120 negara, bertekad mengkampanyekan
penghapusan pasal pidana pencemaran nama baik. IFJ berpendapat bahwa
memenjarakan wartawan karena kasus pencemaran nama baik merupakan suatu hukuman
yang sangat tidak layak – untuk tidak menyebutnya, tidak efektif. Ada banyak
cara yang lebih baik untuk memperbaiki tindak pencemaran nama baik tersebut, seperti
permintaan maaf yang jelas dan cepat.
Kita bisa belajar dari Kasus Tempo vs Winata di Indonesia
telah menarik perhatian dunia terkait dengan keengganan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Indonesia untuk mengakui kemerdekaan abadi pers yang sah secara hukum.
Suatu sistem peradilan yang hanya mementingkan diri sendiri telah mengacuhkan
Undang-undang Pers Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Kecaman
internasional akan membantu memaksa pemerintah untuk mencabut pasal pencemaran
nama baik yang telah memenjarakan banyak wartawan Indonesia. Baru-baru ini, dua
negara memutuskan mendekriminalisasikan pasal pencemaran nama baik: Ghana, yang
mendekriminalisasikan pasal pencemaran nama baik pada 2001, dan Srilangka, yang
melakukan hal yang sama pada 2002.
Dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 di Indonesia,
ada berbagai alternatif terhadap tindakan hukum yang menyangkut pencemaran nama
baik, selain dibawa ke ranah hukum. Alternatif-alternatif langkah non litigasi tersebut mencakup permohonan
maaf yang jelas, koreksi yang segera, sistem internal untuk menangani pengaduan
dan dewan pers yang wajib atau sukarela. Ini merupakan kesempatan-kesempatan
non-hukum yang menawarkan pemulihan terbaik untuk kerugian yang dirasakanoleh
para penggugat karena pencemaran nama baik tersebut.
Tinjauan Yuridis
terhadap Kasus Pencemaran Nama Baik Ir. Mulyadi
Namun kasus pencemaran nama baik Ir. Mulyadi ini telah masuk ke
ranah hukum, hingga Bupati Agam Indra
Catri pun telah dipanggil sebagai saksi. Khusus untuk pengguna internet,
ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan dirumuskan melalui pasal 27 ayat (3) jo. pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan ini memungkinkan pengguna internet
untuk dikriminalisasi dalam hal yang bersangkutan terbukti melakukan penghinaan
di media online dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau
membuat dapat diakses Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik yang memiiki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan mengenai pencemaran nama baik di Facebook terhadap Ir. Mulyadi
ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) jo.
Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (3) UU ITE
“Setiap orang dengan
sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Pelaku pencemaran
nama baik terhadap Mulyadi terancam pidana 4 (empat) tahun dan/atau denda Rp 750
juta rupiah
Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan pasal ini
diancam dengan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang diancam pidana 4 (empat) tahun
dan/atau denda Rp 750 juta rupiah:
“Setiap Orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.”
Pada Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016,
disebutkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan
pencemaran nama baik atau fitnah yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 310
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 311 KUHP. Selain itu, disebutkan
dalam Pasal 45 ayat (5) UU Nomor 19 Tahun 2016 bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 merupakan delik aduan.
Dan perkara pencemaran nama Mulyadi ini telah diadukan oleh Refli sebagaimana
tertulis dalam laporan polisi nomor LP/191/V/2020/SPKT Sbr.
Untuk dapat dipidana atas tuduhan pencemaran nama baik di
media sosial, perlu adanya pembuktian unsur-unsur pidana sebagaimana yang
diatur dalam pasal-pasal di atas dalam persidangan. Tindakan pencemaran nama
baik terhadap Mulyadi harus dilihat terlebih dahulu, apakah memenuhi
unsur-unsur di Pasal 310 ayat (2) KUHP, yaitu: Unsur kesengajaan; Unsur menyerang
kehormatan dan nama baik; Unsur dengan menuduhkan sesuatu hal; Unsur supaya hal
itu diketahui umum; Unsur dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum.
Jika telah memenuhi unsur Pasal 310 ayat (2) KUHP di atas,
maka Polda Sumbar dapat meneruskan tindakan pencemaran nama baik itu ke jaksa dan
dibawa ke meja hijau. Berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana
yang telah dijabarkan sebelumnya karena ketentuan ini mengacu pada ketentuan
pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Kampanye Hitam
Mengancam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bandunsanak di Sumatera Barat
Sungguh jelas tindakan pencemaran nama baik terhadap Ir. Mulyadi
yang juga merupakan salah satu kandidat calon kepala daerah di Sumatera Barat
ini merupakan kampanye hitam. Bahkan sebagaimana yang tersiar di Tempo.com, Ir. Mulyadi mencurigai pelaku memiliki motif politik dengan tujuan menggoyang
elektabilitasnya menuju pemilihan Gubernur Sumatra Barat atau Pilkada 2020.
Karena politikus Demokrat tersebut akan maju sebagai salah satu kandidat dalam
Pilkada 2020 yang akan dihelat Desember 2020 nanti.
Kampanye hitam yang seakan mengancam pilkada Sumatera Barat
ini sudah populer sejak 1936 dengan istilah smear
campaign. Sebagaimana diungkap oleh Hersen (2002) dari caranya kampanye
hitam ditempuh dengan merusak reputasi sasaran bisa perorangan ataupun
kelompok. Sarana utama yang digunakan ialah propaganda negatif. Tujuannya ialah
melakukan pembunuhan karakter seseorang atau produk tertentu. Informasi yang
disampaikan fitnah, kebohongan.
Sejalan dengan itu, dikemukakan Turistiati (2016), kampanye
hitam ialah memfitnah, mengadu domba, menghasut, menghina, atau menyebarkan
berita bohong oleh seorang calon/sekelompok orang/partai/pendukung calon
terhadap lawan mereka. Berbeda dengan kampanye negatif yang tidak bisa dijerat
langsung melalui peraturan tentang kampanye, kampanye hitam bisa ditindak
sesuai aturan.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo
Santoso, menjelaskan beda kampanye negatif dengan kampanye hitam atau black campaign. Dalam hukum kepemiluan,
kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf
c dan Pasal 521 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau
peserta pemilu yang lain.” Pasal 521, “Setiap
pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar
larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana
penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”
Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan
dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak
lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak
relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Sebagai contoh, kampanye negatif
dalam kontes pemilihan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan mengumbar data
kinerja pelayanan publik oleh pihak lawan. Sementara
contoh untuk kampanye hitam, menuduh seseorang calon kepala daerah tidak pantas menjadi pemimpin karena
agama atau sukunya.
Meskipun larangan dan sanksi di UU Pemilu hanya ditujukan
kepada pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye, namun orang per orang yang
melakukan kampanye hitam di media sosial (medsos) dapat dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) jo
Pasal 45 Ayat (2) UU ITE memberikan ancaman hukuman untuk pelaku kampanye hitam
di media sosial 6 tahun penjara.
Aturan materi
kampanye sebenaranya sudah
cukup jelas seperti
yang dinyatakan dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pilkada, pasal 69
Huruf (b) yaitu
: “Dalam kampanye
dilarang menghina seseorang, agama,
suku, ras, golongan, calon gubernur,
calon wakil gubernur,
calon bupati, calon
wakil bupati, calon
wali kota, calon wakil
wali kota, dan/atau partai politik.” Sementara
itu, Pasal 69
Huruf (c) berbunyi, “Dalam kampanye
dilarang melakukan kampanye berupa
menghasut, memfitnah,
mengadu domba partai
politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.” Cara pembuktian
kampanye hitam tidak dapat
dilakukan dengan mudah. Sebagai contoh,
materi yang berisi
fitnah dan penghinaan dilakukan
dalam komunikasi
antarpribadi atau mulut
ke mulut. Undang-undang
dan peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) jelas melarang ini.
Melindungi Pilkada
Sumatera Barat dari Kampanye Hitam
Bulan Juni, Bulan Soekarno baru saja menghampiri kita, tujuh
bulan lagi alek gadang pilkada Sumatera Barat. Marilah kita menepi sejenak,
mengingatkan kembali petuah Soekarno yang merupakan founding father bangsa kita. Soekarno sudah mengingatkan kita sejak dahulu,
agar kita jangan menjadikan pemilihan umum menjadi tempat pertempuran.
Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia. Meskipun
negara-negara yang demokrasinya
sudah matang sekalipun, kampanye
terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam
konteks Indonesia dan Ranah
Minang yang memiliki kultur Ketimuran, nilai-nilai Pancasila, dan adat yang kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih
belum bisa diterima
secara terbuka, kecuali dalam
kasus-kasus yang merugikan
publik secara luas, seperti kasus korupsi.
Kita apresiasi tindakan Polda Sumatera Barat yang bergerak
cepat meminimalisir pergulatan kampanye hitam seakan mengancam Pilkada
Badunsanak di Sumatera Barat. Sejumlah langkah bisa ditempuh dalam upaya
menangkal dan membungkam kampanye hitam. Pertama
dengan melakukan tindakan tegas harus diberikan pada pelaku kampanye hitam.
Penegakan keadilan terhadap para pelaku fitnah itu patut terus digelorakan. Penerapan
sanksi yang jelas dan tegas akan memunculkan efek jera. Hal itu bisa mencegah
kampanye hitam berkembang dan berulang dilakukan.
Melakukannya akan berhadapan
dengan sanksi hukum yang telah menanti akan mendorong calon pelaku kampanye
hitam berfikir berulang kali. Tidak berhenti pada pelaku, tetapi aktor
intelektual, mengingat tidak ada sesuatu dilakukan tanpa tujuan dan hasil yang
sepadan. Pemilihan pemimpin harus dilandasi dengan prinsip bahwa semua manusia
memiliki kelemahan dan kelebihan, termasuk pelaku kampanye hitam. Tidak ada
manusia yang sempurna. Pelaku kampanye hitam juga dilumuri sejumlah kekurangan
dan keburukan dan belum tentu yang dfitnah itu lebih buruk dari pembuat fitnah.
Sikap lainnya harus pandai mengendalikan emosi dan berfikir secara jernih dan
bijak.
Langkah yang kedua
dengan adanya pers yang netral, terlebih di
masa reformasi ini sudah
ada kebebasan pers. Seharusnya pers
mampu mengubah pola kerjanya
yang semula ‘menjilat’
pemerintah karena terpaksa, tetapi
sekarang harus diusahakan untuk
netral karena dijadikan sebagai alat
kritik sosial bagi
pemerintah maupun masyarakat.
Apalagi menurut Mc.Quail (dalam Littlejohn, 2014), secara
umum media massa
memiliki berbagai fungsi bagi
khalayaknya yaitu pertama, sebagai
pemberi informasi; kedua, pemberian komentar
atau interpretasi yang membantu
pemahaman makna informasi; ketiga, pembentukan
kesepakatan; keempat,
korelasi bagian-bagian masyarakat
dalam pemberian respon terhadap
lingkungan; kelima, transmisi warisan
budaya; dan keenam, ekspresi
nilai-nilai dan simbol budaya
yang diperlukan untuk
melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat.
Oleh karena itu
media massa seharusnya menjadi
sarana pencerahan dan transformasi nilai-nilai
kebenaran agar masyarakat dapat
melihat secara apa adanya. Media
sebaiknya tidak memunculkan
kesan yang terlalu menilai atau keberpihakan dalam masa kampanye
pilkada. Seharusnya media menyampaikan informasi
yang sebenarnya, jelas hitam
putihnya. Sehingga masyarakat tidak terjebak
pada pilihan mereka,
karena persoalan pilkada adalah
persoalan masa depan bangsa. Media harus mampu objektif dalam penayangan
berita.
Pada akhirnya, kampanye
hitam bukanlah sebuah pilihan dalam berpolitik badunsanak di
Ranah Minang. Selain mengandung
unsur jahat dan
melanggar norma, baik masyarakat atau pun agama, kampanye
hitam juga memberikan pendidikan
politik yang buruk bagi
masyarakat. Upaya Menghalalkan segala cara yang melandasi dipilihnya bentuk
kampanye hitam menunjukkan
masih buruknya moral dan keimanan seorang politisi yang melakukan hal
tersebut. Dengan adanya kampanye
hitam dapat memengaruhi pencitraan terhadap kandidat
calon dari partai politik tertentu.
Komentar
Posting Komentar