Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Mulyadi, Kampanye Hitam Mengancam Pilkada Badunsanak 2020 di Sumatera Barat


Pencemaran Nama Baik terhadap Ir. Mulyadi, Kampanye Hitam Mengancam
Pilkada Badunsanak 2020 di Sumatera Barat
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

“Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia.” - Ir. Soekarno

Saat ini, penggunaan internet berkembang sangat pesat. Terlihat dari jumlah pengguna media sosial di Indonesia semakin bertambah. Tahun ini, menurut riset dari perusahaan media We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite, menyebut ada 150 juta pengguna media sosial di Indonesia. Jumlah itu naik 20 juta pengguna dibanding hasil riset pada 2018. Masih sama seperti tahun lalu, Facebook menjadi aplikasi media sosial yang paling banyak digemari di Indonesia, dengan penetrasi 81 persen. Angka ini sekaligus mencatat nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna Facebook paling banyak dan keempat di dunia. Tetapi kemajuan Teknologi Informasi justru menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus dapat menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

Meskipun kita mengetahui kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat), dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat), Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan hak-hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilar demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan untuk berpendapat, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan tidak bisa mengkritisi pemerintah. Dengan demikian tidak akan ada demokrasi.

Namun ada sisi lain dari kebebasan berekspresi yang harus dipertanggungjawabkan pelakunya, sebagaimana pencemaran nama baik yang dilakukan terhadap Ir. Mulyadi, Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Kasus pencemaran baik terhadap Mulyadi telah  dilaporkan, berdasarkan laporan yang dibuat Refli Irwandi (40) pada Kamis (4/5/2020) dengan nomor LP/191/V/2020/SPKT Sbr.

Refli melaporkan dugaan peristiwa pencemaran nama baik melalui akun Facebook Maryanto yang diduga akun bodong. Akun itu mengunggah foto yang disertai dengan kalimat ujaran kebencian dan pencemaran nama baik anggota DPR RI Ir. Mulyadi. Polda Sumbar memeriksa sebanyak 13 orang saksi. Dari belasan saksi itu, dua di antaranya merupakan Sekda dan Bupati Agam. Polda Sumbar tetap menindaklanjuti laporan pencemaran nama baik tersebut, walaupun bukan yang bersangkutan (Ir. Mulyadi) yang melapor. Karena anggota Komisi Hukum DPR RI asal Sumatera Barat, Ir. Mulyadi mengatakan tidak tahu-menahu laporan dugaan pencemaran nama baik dirinya via Facebook di Polda Sumatra Barat.

Terkait laporan ini, harus dikonfirmasi kembali atas dasar apa supir Ir. Mulyadi melaporkan kasus ini kepada polisi. Apakah atas dasar adanya surat kuasa dari Ir. Mulyadi atau tidak. Jika tidak, ini seharusnya tak dapat diproses. Karena tindak pidana pencemaran nama baik ini merupakan suatu delik aduan, dimana seseorang yang mencemarkan nama baik orang lain tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari orang yang telah dicemarkan nama baiknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 319 KUHP.

Pembatasan Kebebasan Ekspresi harus dilakukan Hati-Hati

Konsep pembatasan kebebasan berekspresi yang terdapat pada Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam praktiknya, pelaksanaan dari suatu jaminan perlindungan hak memang kerap melahirkan ketegangan. Secara khusus pada kasus ini ialah antara ketentuan Pasal 19 ICCPR yang melindungi setiap bentuk opini dan ekspresi, dengan ketentuan Pasal 17 ICCPR yang memberikan perlindungan bagi privasi seseorang termasuk reputasinya. Dalam rangka menyeimbangkan ketegangan itu dilahirkanlah prinsip pembatasan, termasuk dalam pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi.

Di Indonesia pembatasan kebebasan berekspresi, tindak pidana terhadap kehormatan atau penghinaan atau pencemaran nama baik selain diatur dalam KUHP juga Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai media pencemaran nama baik. Namun demikian, penggantian kerugian yang ditimbulkan atas pencemran nama baik di atur dalam KUHPerdata Pasal 1372-1380 sebagai bentuk perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365.

Dengan alasan itu pula, kemudian menjadi pembenar bagi eksisnya hukum pencemaran nama baik. Tujuan utama hadirnya hukum pencemaran nama bai adalah untuk menjaga dan melindungi reputasi serta privasi seseorang. Kendati begitu, jika diterapkan dengan tidak hati-hati justru akan menghambat penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, juga menghambat akses pihak lain untuk menerima informasi.

Namun ada juga hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum pencemaran nama baik. Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum dengan pasal pencemaran nama baik atau penghinaan adalah penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum, untuk membela diri, dan untuk mengungkapkan kebenaran. Dengan demikian, orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah.

Sebenarnya penindakan terhadap pelaku pencemaran nama baik, membuat kita waspada agar dampak hukum ini tak membawa pengaruh yang mengerikan bagi insan pers yang merupakan pilar demokrasi. Federasi Wartawan Internasional (IFJ – International Federation of Journalist), suara dunia para wartawan, yang mewakili lebih dari 500.000 wartawan di hampir 120 negara, bertekad mengkampanyekan penghapusan pasal pidana pencemaran nama baik. IFJ berpendapat bahwa memenjarakan wartawan karena kasus pencemaran nama baik merupakan suatu hukuman yang sangat tidak layak – untuk tidak menyebutnya, tidak efektif. Ada banyak cara yang lebih baik untuk memperbaiki tindak pencemaran nama baik tersebut, seperti permintaan maaf yang jelas dan cepat.

Kita bisa belajar dari Kasus Tempo vs Winata di Indonesia telah menarik perhatian dunia terkait dengan keengganan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia untuk mengakui kemerdekaan abadi pers yang sah secara hukum. Suatu sistem peradilan yang hanya mementingkan diri sendiri telah mengacuhkan Undang-undang Pers Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Kecaman internasional akan membantu memaksa pemerintah untuk mencabut pasal pencemaran nama baik yang telah memenjarakan banyak wartawan Indonesia. Baru-baru ini, dua negara memutuskan mendekriminalisasikan pasal pencemaran nama baik: Ghana, yang mendekriminalisasikan pasal pencemaran nama baik pada 2001, dan Srilangka, yang melakukan hal yang sama pada 2002.

Dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 di Indonesia, ada berbagai alternatif terhadap tindakan hukum yang menyangkut pencemaran nama baik, selain dibawa ke ranah hukum. Alternatif-alternatif langkah non litigasi tersebut mencakup permohonan maaf yang jelas, koreksi yang segera, sistem internal untuk menangani pengaduan dan dewan pers yang wajib atau sukarela. Ini merupakan kesempatan-kesempatan non-hukum yang menawarkan pemulihan terbaik untuk kerugian yang dirasakanoleh para penggugat karena pencemaran nama baik tersebut.

Tinjauan Yuridis terhadap Kasus Pencemaran Nama Baik Ir. Mulyadi

Namun kasus pencemaran nama baik Ir. Mulyadi ini telah masuk ke ranah hukum, hingga Bupati Agam  Indra Catri pun telah dipanggil sebagai saksi. Khusus untuk pengguna internet, ancaman pidana terhadap pelaku penghinaan dirumuskan melalui pasal 27 ayat (3) jo. pasal 45 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketentuan ini memungkinkan pengguna internet untuk dikriminalisasi dalam hal yang bersangkutan terbukti melakukan penghinaan di media online dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik yang memiiki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan mengenai pencemaran nama baik di Facebook terhadap Ir. Mulyadi ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (3) UU ITE

“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pelaku pencemaran nama baik terhadap Mulyadi terancam pidana 4 (empat) tahun dan/atau denda Rp 750 juta rupiah

Setiap orang yang melanggar ketentuan larangan pasal ini diancam dengan Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 yang diancam pidana 4 (empat) tahun dan/atau denda Rp 750 juta rupiah:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.”

Pada Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016, disebutkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik atau fitnah yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 311 KUHP. Selain itu, disebutkan dalam Pasal 45 ayat (5) UU Nomor 19 Tahun 2016 bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 merupakan delik aduan. Dan perkara pencemaran nama Mulyadi ini telah diadukan oleh Refli sebagaimana tertulis dalam laporan polisi nomor LP/191/V/2020/SPKT Sbr.

Untuk dapat dipidana atas tuduhan pencemaran nama baik di media sosial, perlu adanya pembuktian unsur-unsur pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal di atas dalam persidangan. Tindakan pencemaran nama baik terhadap Mulyadi harus dilihat terlebih dahulu, apakah memenuhi unsur-unsur di Pasal 310 ayat (2) KUHP, yaitu: Unsur kesengajaan; Unsur menyerang kehormatan dan nama baik; Unsur dengan menuduhkan sesuatu hal; Unsur supaya hal itu diketahui umum; Unsur dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum.

Jika telah memenuhi unsur Pasal 310 ayat (2) KUHP di atas, maka Polda Sumbar dapat meneruskan  tindakan pencemaran nama baik itu ke jaksa dan dibawa ke meja hijau. Berdasarkan Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya karena ketentuan ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kampanye Hitam Mengancam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bandunsanak di Sumatera Barat

Sungguh jelas tindakan pencemaran nama baik terhadap Ir. Mulyadi yang juga merupakan salah satu kandidat calon kepala daerah di Sumatera Barat ini merupakan kampanye hitam. Bahkan sebagaimana yang tersiar di Tempo.com, Ir. Mulyadi mencurigai pelaku memiliki motif politik dengan tujuan menggoyang elektabilitasnya menuju pemilihan Gubernur Sumatra Barat atau Pilkada 2020. Karena politikus Demokrat tersebut akan maju sebagai salah satu kandidat dalam Pilkada 2020 yang akan dihelat Desember 2020 nanti.

Kampanye hitam yang seakan mengancam pilkada Sumatera Barat ini sudah populer sejak 1936 dengan istilah smear campaign. Sebagaimana diungkap oleh Hersen (2002) dari caranya kampanye hitam ditempuh dengan merusak reputasi sasaran bisa perorangan ataupun kelompok. Sarana utama yang digunakan ialah propaganda negatif. Tujuannya ialah melakukan pembunuhan karakter seseorang atau produk tertentu. Informasi yang disampaikan fitnah, kebohongan.

Sejalan dengan itu, dikemukakan Turistiati (2016), kampanye hitam ialah memfitnah, mengadu domba, menghasut, menghina, atau menyebarkan berita bohong oleh seorang calon/sekelompok orang/partai/pendukung calon terhadap lawan mereka. Berbeda dengan kampanye negatif yang tidak bisa dijerat langsung melalui peraturan tentang kampanye, kampanye hitam bisa ditindak sesuai aturan.

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, menjelaskan beda kampanye negatif dengan kampanye hitam atau black campaign. Dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c dan Pasal 521 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 280 ayat (1) huruf c UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.” Pasal 521, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, atau j, dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.”

Jika kampanye negatif dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik, maka kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin. Sebagai contoh, kampanye negatif dalam kontes pemilihan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan mengumbar data kinerja pelayanan publik oleh pihak lawan. Sementara contoh untuk kampanye hitam, menuduh seseorang calon kepala daerah tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau sukunya.

Meskipun larangan dan sanksi di UU Pemilu hanya ditujukan kepada pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye, namun orang per orang yang melakukan kampanye hitam di media sosial (medsos) dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE memberikan ancaman hukuman untuk pelaku kampanye hitam di media sosial 6 tahun penjara.

Aturan materi  kampanye sebenaranya sudah  cukup  jelas  seperti  yang  dinyatakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang  Pilkada,  pasal  69  Huruf  (b)  yaitu  : “Dalam  kampanye  dilarang  menghina seseorang,  agama,  suku,  ras,  golongan, calon  gubernur,  calon  wakil  gubernur,  calon   bupati,   calon  wakil  bupati,   calon   wali kota,  calon  wakil  wali kota, dan/atau partai politik.”   Sementara  itu,  Pasal  69  Huruf  (c) berbunyi,   “Dalam  kampanye  dilarang melakukan  kampanye  berupa  menghasut, memfitnah,  mengadu  domba  partai  politik, perseorangan,  dan/atau  kelompok masyarakat.” Cara  pembuktian  kampanye  hitam tidak dapat dilakukan dengan mudah. Sebagai contoh,  materi  yang  berisi  fitnah  dan penghinaan  dilakukan  dalam  komunikasi antarpribadi  atau  mulut  ke  mulut.  Undang-undang  dan  peraturan  Komisi  Pemilihan Umum (PKPU) jelas melarang ini. 

Melindungi Pilkada Sumatera Barat dari Kampanye Hitam

Bulan Juni, Bulan Soekarno baru saja menghampiri kita, tujuh bulan lagi alek gadang pilkada Sumatera Barat. Marilah kita menepi sejenak, mengingatkan kembali petuah Soekarno yang merupakan founding father bangsa kita.  Soekarno sudah mengingatkan kita sejak dahulu, agar kita jangan menjadikan pemilihan umum menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia. Meskipun negara-negara  yang  demokrasinya  sudah matang  sekalipun,  kampanye  terhadap keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun,  dalam  konteks  Indonesia dan Ranah Minang yang memiliki  kultur  Ketimuran, nilai-nilai Pancasila, dan adat yang  kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih belum  bisa  diterima  secara  terbuka,  kecuali dalam  kasus-kasus  yang  merugikan  publik secara luas, seperti kasus korupsi.

Kita apresiasi tindakan Polda Sumatera Barat yang bergerak cepat meminimalisir pergulatan kampanye hitam seakan mengancam Pilkada Badunsanak di Sumatera Barat. Sejumlah langkah bisa ditempuh dalam upaya menangkal dan membungkam kampanye hitam. Pertama dengan melakukan tindakan tegas harus diberikan pada pelaku kampanye hitam. Penegakan keadilan terhadap para pelaku fitnah itu patut terus digelorakan. Penerapan sanksi yang jelas dan tegas akan memunculkan efek jera. Hal itu bisa mencegah kampanye hitam berkembang dan berulang dilakukan. 

Melakukannya akan berhadapan dengan sanksi hukum yang telah menanti akan mendorong calon pelaku kampanye hitam berfikir berulang kali. Tidak berhenti pada pelaku, tetapi aktor intelektual, mengingat tidak ada sesuatu dilakukan tanpa tujuan dan hasil yang sepadan. Pemilihan pemimpin harus dilandasi dengan prinsip bahwa semua manusia memiliki kelemahan dan kelebihan, termasuk pelaku kampanye hitam. Tidak ada manusia yang sempurna. Pelaku kampanye hitam juga dilumuri sejumlah kekurangan dan keburukan dan belum tentu yang dfitnah itu lebih buruk dari pembuat fitnah. Sikap lainnya harus pandai mengendalikan emosi dan berfikir secara jernih dan bijak.

Langkah yang kedua dengan adanya pers yang netral, terlebih di  masa  reformasi  ini sudah  ada  kebebasan  pers. Seharusnya  pers  mampu  mengubah  pola kerjanya  yang  semula  ‘menjilat’  pemerintah karena  terpaksa,  tetapi  sekarang  harus diusahakan  untuk  netral  karena  dijadikan sebagai  alat  kritik  sosial  bagi  pemerintah maupun masyarakat.

Apalagi menurut  Mc.Quail  (dalam Littlejohn, 2014),  secara  umum  media  massa  memiliki berbagai  fungsi  bagi  khalayaknya  yaitu pertama,  sebagai  pemberi  informasi;  kedua, pemberian  komentar  atau  interpretasi  yang membantu  pemahaman  makna  informasi; ketiga,  pembentukan  kesepakatan;  keempat, korelasi  bagian-bagian  masyarakat  dalam pemberian  respon  terhadap  lingkungan; kelima,  transmisi  warisan  budaya;  dan keenam,  ekspresi  nilai-nilai  dan  simbol budaya  yang  diperlukan  untuk  melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat.

Oleh  karena  itu  media  massa seharusnya  menjadi  sarana  pencerahan  dan transformasi  nilai-nilai  kebenaran  agar masyarakat dapat melihat secara apa adanya. Media  sebaiknya  tidak  memunculkan  kesan yang terlalu menilai atau keberpihakan dalam masa  kampanye  pilkada.  Seharusnya  media menyampaikan  informasi  yang  sebenarnya, jelas  hitam  putihnya.  Sehingga  masyarakat tidak  terjebak  pada  pilihan  mereka,  karena persoalan  pilkada  adalah  persoalan  masa depan bangsa.  Media harus mampu objektif dalam penayangan berita.

Pada akhirnya, kampanye  hitam  bukanlah  sebuah pilihan dalam berpolitik badunsanak di Ranah Minang. Selain  mengandung unsur  jahat  dan  melanggar  norma,  baik masyarakat atau pun agama, kampanye hitam juga  memberikan  pendidikan  politik  yang buruk bagi masyarakat. Upaya Menghalalkan segala cara yang melandasi dipilihnya bentuk kampanye  hitam  menunjukkan  masih buruknya moral dan keimanan seorang politisi yang melakukan hal tersebut. Dengan adanya kampanye  hitam  dapat  memengaruhi pencitraan terhadap kandidat calon dari partai politik tertentu. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online

Majikan Kami Rakyat, PPKHI Bukittinggi dan LBH Bukittinggi Tegaskan Kritis, Netral, dan Independen

Memperoleh Hak Asuh Anak Hasil Nikah Siri di Kota Bukittinggi

Membela Nasabah yang Rumahnya akan Disita Salah Satu Bank Plat Merah Kota Bukittinggi

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Lakatas Berduka, Alika Balita Penderita Tumor Mata Hembuskan Nafas Terakhir