Demokrasi Artifisial dan Epicentrum Penyebab Maraknya Calon Tunggal di Pilkada 2020

Demokrasi Artifisial dan Epicentrum Penyebab Maraknya Calon Tunggal di Pilkada 2020

 Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H

[Alumni Magister Hukum Universitas Pancasila dan merupakan Kepala Bidang Penyelesaian Sengketa Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) Kota Bukittinggi]

 “Pemilihan hanya akan kompetitif jika pemilih mempunyai pilihan di antara alternatif-alternatif politik yang bermakna." - Elkit dan Svenson, Professor Politik di Universitas Aarhus Denmark

Kabar mengejutkan ada dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat yang mana sudah pasti akan diikuti hanya satu bakal pasangan calon saja. Ini dipastikan pasca masa pendaftaran pasangan yang telah berakhir dibuka oleh KPU setempat pada hari Minggu kemarin. Satu bakal pasangan calon yang mendaftar ialah, Benny Utama dan Sabar AS yang mendapat dukungan delapan 8 partai dengan jumlah 29 kursi dari 35 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pasaman. Menurut aturan KPU, bakal pasangan calon dapat diusung minimal 20 persen jumlah kursi di DPRD, yang berarti pasangan calon minimal didukung oleh tujuh kursi untuk bisa mendaftar di KPU Pasaman. Pasangan Benny dan Sabar AS diusung dengan jumlah 29 kursi tersisa enam kursi di DPRD Pasaman. Dengan demikian, sudah dapat di pastikan bahwa Pilkada Pasaman 2020 calon tunggal. Meskipun waktu pendaftaran diperpanjang, Pilkada Pasaman bakal tetap satu paslon karena kursi DPRD untuk pengusung hanya tersisa enam dari yang dibutuhkan 7 kursi DPRD.

Setelah melihat adanya fenomena calon tunggal di Sumatera Barat kita juga harus melihat hasil pencatatan sementara lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dari 270 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah setidaknya ada 28 daerah yang kemungkinan hanya diikuti satu pasangan calon (calon tunggal) di Indonesia. Jumlah calon tunggal di Pilkada 2020 ini meningkat. Sebagaimana kita ketahui pada Pilkada 2015, jumlah calon tunggal sebanyak 3 pasangan calon. Jumlahnya meningkat menjadi 9 pasangan calon pada Pilkada 2017, dan menjadi 16 paslon pada 2018, dan berpotensi menjadi 28 paslon pada tahun ini. Peningkatan jumlah calon tunggal ini dikaitkan dengan menguatnya oligarki politik dan bisnis serta mandeknya kaderisasi partai politik. Padahal secara sederhana dapat dipahami bahwa dalam suatu kompetisi pada dasarnya membutuhkan adanya persaingan antara dua atau lebih individu, namun dalam konteks calon tunggal persaingan dirasakan tidak terjadi.

Munculnya calon tunggal dalam pilkada serentak kali ini menjadi sebuah anomali dengan rencana matang yang pada akhirnya menutup kontestasi. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal. Bila dilihat dengan kaca mata positif, bisa saja dibilang, calon yang paling layak hanyalah pasangan tersebut. Terlebih bagi incumbent bisa dibumbui dengan prestasi kerja selama periode sebelumnya. Meningkatnya calon tunggal pada pilkada tahun 2020 bisa dimaknai sebagai sinyalemen awal yang harus diwaspadai, karena apabila dibiarkan (sekalipun perundangan-undangan tidak melarang) akan menjadikan demokrasi berjalan secara artifisial, alias semu. Kita tentu tidak ingin demokrasi artifisial terus berlangsung bahkan semakin membesar.

Dengan banyaknya calon tunggal di Pilkada 2020 ini, iklim persaingan dalam demokrasi menjadi tidak seperti yang diharapkan. Demokrasi yang bertujuan agar terjadi sirkulasi elit, agar elit yang berkuasa tidak mendominasi yang mengakibatkan adanya oligarki. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, demokrasi dapat berubah menjadi oligarki apabila sekelompok kecil golongan mendominasi dan berupaya mempertahankan kekuasaan agar tetap mereka berada dalam lingkaran kekuasaan.

 Epicentrum Penyebab Maraknya Calon Tunggal dalam Pilkada

Jika kita simak pendapat dari peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, epicentrum penyebab munculnya calon kepala daerah tunggal, yaitu: Pertama, kuatnya petahana. Hal ini terbukti dari banyaknya petahana yang kini berpotensi jadi calon tunggal di gelaran Pilkada 2020. Ada 23 dari 28 daerah yang diikuti calon tunggal diikuti oleh calon petahana, baik petahana sebagai kepala daerah atau sebagai wakil kepala daerah. Dari 23 petahana ini, sebanyak 10 di antaranya merupakan petahana kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kembali berpasangan. Sementara 13 petahana lain merupakan petahana kepala daerah, atau wakil kepala daerah yang kembali mencalonkan diri namun tak kembali berpasangan. Kedua, karena tingginya biaya politik. Dalam situasi pandemi Covid-19, biaya politik kian mahal karena adanya berbagai pembatasan. Oleh karenanya, kandidat yang tak populer akan berulang kali berpikir untuk mencalonkan diri. 

Ketiga, ditambah lagi dengan adanya pandemi, pemodal politik juga akan semakin berhitung potensi keuntungan dan kerugiannya sebelum mendukung calon kepala daerah. Dengan situasi pandemi siapa yang mau biayai, pemodal politik pasti berhitung sekali untuk apakah akan investasi ke kandidat dalam situasi bisnis yang tidak pasti. Keempat, situasi multipartai ekstrem politik Indonesia juga dinilai menjadi penyebab munculnya calon kepala daerah tunggal. Sebab, dengan situasi tersebut, pembentukan koalisi menjadi sulit. Apalagi, persyaratan pencalonan juga tidak mudah. Oleh karenanya, partai-partai akhirnya saling merapat membentuk koalisi calon tunggal. Dan Kelima, kuatnya massa pendukung partai politik di suatu daerah. Di sejumlah daerah yang didapati bakal calon tunggal seperti Kebumen, Wonosobo, Boyolali, Semarang, Grobogan, Badung, Ngawi, hingga Kediri, basis massa suatu partai begitu kuat. Faktor basis partai itu ternyata juga punya kontribusi terhadap meningkatnya calon tunggal.

Selain faktor di atas menurut penulis, epicentrum pertama penyebab maraknya calon tunggal di beberapa daerah di Indonesia adalah faktor yuridis yang terdapat dalam Undang-Undang Pilkada, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, masih memiliki celah yang tidak mengantisipasi lahirnya calon tunggal. Terutama pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mensyaratkan partai atau gabungan partai bisa mengusung pasangan calon jika memiliki minimal 20 persen kursi DPRD. Sedangkan fakta yuridis calon perseorangan wajib mengumpulkan dukungan antara 6,5-10 persen dari jumlah masyarakat yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Serta aturan turunan lainnya yang tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menyulitkan calon independen.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat undang-undang salah kaprah menyetarakan syarat calon dari jalur parpol dengan syarat untuk menjadi calon perseorangan atas alasan non diskriminasi. Alasannya, pertama struktur calon perseorangan dengan calon dari parpol berbeda. Calon dari Parpol, saat pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Kedua, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak (mereka bisa mengusung 3-12 calon per daerah pemilihan) pada masa pemilu legislatif, dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.

Sebagaimana yang penulis jelaskan di atas, ternyata epicentrum masalah munculnya calon tunggal juga diakibatkan oleh faktor yuridis, yakni adanya ambang batas pencalonan dalam aturan pemilihan kepala daerah aturan itu menyempitkan peluang partai untuk mengusung calon sendiri dan mendorong biaya politik tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jika ingin melalui jalur partai politik, diperlukan modal yang besar atau kecukupan ekonomi sehingga bagi masyarakat yang memiliki intelektual yang mumpuni tetapi tidak memiliki modal yang besar dirasakan sangat sulit untuk berkontestasi melalui jalur partai.

Kendati munculnya calon tunggal tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pilkada, apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperbolehkan calon tunggal dengan Keputusan Nomor 100/PUU-XIII/2015, namun secara substansi munculnya calon tunggal tentu saja menjadi pertanda bahwa corak demokrasi di tingkat lokal khusunya Sumatera Barat sudah mulai luntur, karena masyarakat tidak memiliki alternatif lain dalam memilih calon kepala daerah dan cenderung dipaksa memilih setuju atau tidak setuju terhadap calon tunggal. Bahkan Elkit dan Svenson yang menulis buku tentang What Makes Elecfions Free and. Fair? Dan merupakan professor politik di Universitas Aarhus Denmark mengatakan bahwa: “Pemilihan hanya akan kompetitif jika pemilih mempunyai pilihan di antara alternatif-alternatif politik yang bermakna. Lebih jauh dikatakan, secara hukum (de jure) dan kenyataan (de facto) tidak menetapkan pembatasan dalam rangka penyingkiran calon-calon atas dasar alasan politik”. Merujuk pendapat itu, sehingga harus kita aminkanlah bahwa kualitas pilkada akan baik jika jumlah calon semakin banyak. Pilkada dengan banyak calon bermanfaat untuk menguji dan memperkuat komitmen calon terhadap rakyat, dengan adu program dan gagasan dalam tahapan kampanye. Serta hanya melalui kompetisi rakyat dapat menilai para calon dengan baik.

Selain itu menurut penulis, epicentrum kedua adalah kuatnya dominasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik dalam menentukan calon kepala daerah, tidak jarang aspirasi dari kader ditingkat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) diabaikan, karena dinilai tidak memiliki kualitas, finansial, dan juga popularitas. Dominasi elit parpol ditingkat pusat terlihat cukup signifikan, sehingga semua calon yang memiliki kursi di DPRD terpaksa mendukung satu calon, meskipun mereka juga memiliki keinginan mendukung calon lain sebagai penantang untuk berkompetisi. Kejadian seperti yang penulis jelaskan tersebut sudah bak Basuluah mato hari, bagalanggang mato rang banyak dalam Pilkada Bukittinggi yang penulis amati terjadi dilema panek di awak kayo di urang, di mana Partai Gerindra Kota Bukittinggi dan Partai Demokrat Bukittinggi sempat bergejolak karena kuatnya dominasi DPP partai politik tersebut. Dek harato mangko den jauah dari kepunyaan hak untuk dipilih. Dari praktik oligarki elit pusat ini rakyat dirugikan karena tak memiliki pilihan alternatif dan aspirasi kader partai dikecewakan. Sehingga, Pilkada Bukittinggi 2020 hanya terdiri dari 3 pasang calon saja. Fenomena ini, memberikan gambaran bahwa dalam proses penentuan kepala daerah dan wakil kepala daerah, masih didominasi oleh elit partai ditingkat pusat yang makin memperkokoh demokrasi artifisial di Kota Bung Hatta.

Berangkat dari seluruh penjelasan di atas, oligarki sebagai suatu konsep yang kuno yang dalam perjalanannya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat ternyata di era demokrasi saat ini justru dipergunakan untuk memperoleh kekuasaan. Winters (2011) menempatkan sumber daya kekayaan sebagai faktor yang penting dalam hubungan oligarki dan kekuasaan. Bagi Winters (2011), oligarki tidak hanya sekedar hanya sebagian kecil elit yang berkuasa, melainkan para pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya materil yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi stratifikasi sosial eksklusifnya.

Jalan Keluar dari Demokrasi Artifisial dan Epicentrum Penyebab Maraknya Calon Tunggal

Untuk menyikapi implikasi negatif dari fenomena oligarki elit dan calon tunggal tersebut. Penulis menyarankan kepada pembuat undang-undang semestinya menyadari ambang batas yang digunakan sebagai acuan untuk memajukan kandidat lebih banyak membawa kepada hal yang tak berfaedah sama sekali. The power of damage dari aturan ambang batas membentuk mentalitas buruk pengurus partai. Karena daripada berkoalisi secara sungguh-sungguh untuk menghasilkan pasangan calon alternatif yang sesuai aspirasi kader dan rakyat, partai memilih melakukan politik dagang sapi-politik transaksional dengan mendagangkan kursinya. Pengurus partai lebih memilih mencalonkan siapa pun calon yang bisa memberikan mahar dan mau berbagi proyek jika kelak terpilih. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh Busyro Muqqodas yang merupakan Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah dalam diskusi Oligarki Parpol dan Fenomena Calon Tunggal yang mana ia  menilai Pilkada 2020 menunjukkan kondisi demokrasi Indonesia yang semakin sakit. Menurutnya sejumlah fenomena yang muncul dalam Pilkada 2020 ini, menunjukkan demokrasi kita bukan sedang sakit, tapi semakin sakit, semakin terpental, dan semakin mengalami krisis jiwa.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembuat undang-undang harusnya memudahkan pencalonan kepala daerah dengan menurunkan syarat pengajuan calon baik bagi calon dari parpol maupun jalur perseorangan. Sehingga pemilih lebih banyak punya alternatif dan bisa mencegah politik transaksional dalam pencalonan. Karena dengan terbatasnya ruang untuk menjadi calon yang dibuat oleh pembuat undang-undang menyuburkan calon tunggal dalam Pilkada 2020 dan tak tertutup kemungkinan pada Pilkada 2025. Dalam membuat aturan sebaiknya DPR fokus pada pembenahan substansial pilkada yang bisa menguatkan kualitas calon, kualitas partisipasi, dan juga kualitas representasi kepala daerah terpilih. Misalnya dengan menerbitkan aturan yang lebih tegas untuk memberantas politik uang yang selalu menjadi ganjalan pemilu demokratis mestinya bisa diantisipasi melalu regulasi yang jelas, berkualitas, dan bisa efektif dilaksanakan di lapangan.

Jadi, jalan keluar dari demokrasi artifisial dan untuk keluar dari epicentrum penyebab maraknya calon tunggal. Itu bisa dengan melihat sebab yang ditimbulkan dari epicentrum yuridis dan epicentrum kepartaian. Dari epicentrum yuridis, penulis menyoroti dua poin yang perlu mendapat perhatian. Poin pertama terkait dengan pembatasan jumlah kursi bagi parpol dalam mengusung pasangan calon dimana perlu aturan yang membatasi jumlah partai politik pengusung bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah agar menampilkan lebih dari satu pasangan calon dalam setiap pilkada di tanah air. Karena sampai saat ini, belum ada aturan main, maka membuka peluang semua parpol mendukung satu pasangan calon masih terbuka.

Poin kedua, terkait dengan pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih memerlukan rekomendasi/surat keputusan pengurus partai politik pada tingkat pusat terkait pasangan calon yang akan diusung oleh parpol tersebut. Hal yang demikian dirasakan menjadi penyebab terjadinya calon tunggal dan menghambat demokrasi serta aspirasi pada pengurus partai tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal tersebut menyebabkan parpol di tingkat provinsi serta kabupaten/kota menjadi sulit untuk menentukan calon yang dapat diusung di daerahnya. Hal yang demikian ternyata juga diperkuat dalam peraturan perundangan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 42 ayat (4), (4a), (5), (5a). Aturan ini harus segera direvisi, karena model pengambilan keputusan secara sentralistis seperti ini malah mengakibatkan kemunduran, oleh karena partai politik semestinya membangun mekanisme yang demokratis dalam menentukan kandidat yang akan diusung dalam pilkada, yang dilakukan secara transparan dan akuntabel serta melibatkan para kader di tingkat akar rumput. Selain karena alasan desentralisasi dalam pengambilan keputusan, hal tersebut perlu dilakukan karena kader-kader di tingkat akar rumput dapat mengidentifikasi ekspektasi publik tentang figur pemimpin lokal yang diinginkan.

Dari epicentrum kepartaian, penulis pada dasarnya memiliki kekhawatiran terhadap besarnya pengaruh elit partai politik (party bosses) di tingkat pusat dalam menentukan dukungan para kandidat dalam pilkada. Hal yang demikian sejatinya menjadi hambatan bagi kandidat-kandidat potensial yang telah diusulkan parpol pada tingkat provinsi serta kabupaten/kota untuk maju dalam pilkada yang menyebabkan terjadinya praktik oligarki. Praktik oligarki partai sejatinya dapat terlihat ketika keputusan-keputusan strategis partai termasuk keputusan untuk mengusung kandidat dalam pilkada berada di tangan elit partai di tingkat pusat. 

Partai harus melakukan reformasi dalam menerbitkan putusan calon kepala daerah, kebijakan kepartaian harus sesuai dengan prinsip hak dipilih dalam perspektif hak asasi manusia yang secara tersurat diatur grundnorm dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam pesta demokrasi yang meliputi Pemilu, Pilpres dan Pilkada.

Seharusnya proses rekrutmen calon kepala daerah dilakukan oleh partai atas dasar rekrutmen dengan model oriented style yang dikemukan oleh Norris dan Lowenduski, yang merupakan model rekrutmen yang digambarkan dengan sesuatu yang ideal, yang mengandalkan kemampuan calon itu seperti loyalitas dan kemampuannya memimpin. Tak hanya semata menggunakan descriptive style, karena model ini merupakan model rekrutmen yang mengandalkan beberapa kriteria, antara lain menyangkut ketokohannya, menyangkut keuangannya, menyangkut kedekatannya dengan pengurus partai. Jadi yang berhubungan dengan ikatan primordial. Dan dalam menetapkan calon kepala daerah seharusnya partai tak menggunakan lagi sistem pengambilan keputusan Formal-terpusat karena pimpinan pusat partai memiliki otoritas konstitusional yang besar untuk memutuskan calon kepala daerah. Seharusnya dalam menetapkan calon kepala daerah partai mulai bergeser ke sistem yang lebih fair, yaitu Formal-terlokal karena dalam Formal-terlokal, keputusan diambil secara konstitusional dan panduan nasional dimapankan untuk menstabilkan proses rekrutmen. Sistem ini memungkinkan proses yang tranparan dan adil.

Pada akhirnya, dalam perspektif hak memilih, ternyata partisipasi dan kontestasi merupakan satu kesatuan proses yang harus disediakan oleh negara, karena partisipasi merupakan cara bagi setiap warga negara untuk terlibat dalam proses politik negara sementara kontestasi merupakan cara warga negara untuk berkompetisi secara fair dalam memperebutkan kekuasaan. Tanpa keduanya dirasakan pilkada yang diikuti oleh calon tunggal akan menjadi demokrasi artifisial yang sia-sia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online