Memperoleh Hak Asuh Anak Hasil Nikah Siri di Kota Bukittinggi
Memperoleh Hak Asuh Anak Hasil Nikah Siri di Kota Bukittinggi
oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Ketua DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Kota Bukittinggi)
Untuk hak asuh anak hasil nikah siri ini, pertama-tama kami
menyarankan agar masalah dalam keluarga tentu wajib diselesaikan terlebih
dahulu dengan cara non litigasi atau cara musyawarah antara Ibu dan si ayah dan
keluarganya. Ibu dapat meminta anak kepada ayah si anak dan keluarganya dengan
cara kekeluargaan sambil menjelaskan bahwa ibulah yang paling berhak atas
pengasuhan anak tersebut. Jika tidak berhasil, Ibu dapat menempuh upaya litigasi
ke pengadilan untuk mengesahkan asal-usul anak bahwa memang ibulah yang
melahirkan dan berhak untuk mengasuhnya. Cara lainnya adalah dengan meminta
bantuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Bukittinggi.
Adapun uraian dasar hukum hak asuh anak di bawah umur tetap
jatuh kepada ibunya adalah sebagai berikut:
Bagi yang muslim diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam, berbunyi:
“Dalam hal terjadinya perceraian
:
a. Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya;
c. biaya pemelliharaan ditanggung
oleh ayahnya.”
Sementara bagi yang non-muslim, dasar hukumnya merujuk pada
Yurisprudensi (putusan pengadilan terdahulu), sebagai berikut:
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001
tanggal 28 Agustus 2003 dinyatakan bahwa : “..Bila terjadi perceraian, anak
yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang
terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu..”
-
Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973
tanggal 24 April 1975, menyatakan: “Berdasarkan yurisprudensi mengenai
perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya
bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi
kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk
memelihara anaknya.”
Berdasarkan bunyi ketentuan hukum di atas, jelas bahwa bila
terjadi perceraian, maka hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur jatuh
kepada ibunya.
Adapun pengadilan yang berwenang mengeluarkan penetapan soal
pengesahan anak hasil nikah siri, bagi yang beragama Islam, adalah pengadilan
agama. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan. Adapun yang termasuk perkara di
bidang perkawinan salah satunya adalah penetapan asal-usul seorang anak dan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Sedangkan bagi yang beragama non Islam, permohonan penetapan
pengadilan soal pengesahan anak hasil nikah siri diajukan ke pengadilan negeri.
Hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni peradilan umum memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Cara selanjutnya adalah dengan meminta bantuan Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga
Berencana Kota Bukittinggi. Berbagai kasus atau perkara perebutan (hak
pemeliharaan) anak, sepertinya berbasis pada pandangan salah tentang
superioritas orang tua menguasai anak. Integritas anak seakan hanya bisa
dikukuhkan secara subyektif hanya oleh ayah atau hanya ibunya. Padahal, konsep
perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan anak, dikembangkan lewat basis yang
kuat yakni kepentingan terbaik bagi anak. Integritas pertumbuhan dan
perkembangan anak, bukan hanya sekadar fisik-biologisnya saja. Akan tetapi
mencakup fisik, psikologis/mental, pikiran anak. Perebutan pemeliharaan anak,
dalam tensi apa dan bentuk yang bagaimanapun, akan merusak integritas anak.
Apalagi perebutan anak yang bermuara pada pertikaian, sengketa, dan perbuatan
pidana. Tidak juga diperkenankan menghalangi dan membatasi salah satu orang
tua.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Bila anda ingin berkonsultasi lebih lanjut dan/atau ingin
mendapatkan analisa hukum terkait persoalan hukum yang anda hadapi, segera
hubungi kami KANTOR PENGACARA DAN KONSULTAN HUKUM RIYAN PERMANA PUTRA, S.H.,
M.H., di kontak Whatshapp 081285341919 atau email: riyanpp@gmail.com serta follow akun
instagram @pengcarabukittinggi untuk mendapatkan informasi.
Komentar
Posting Komentar