Riyan Permana Putra Ungkap Perlindungan Hukum Bagi Pimpinan DPRD yang Diberhentikan
Riyan Permana Putra Ungkap Perlindungan Hukum Bagi Pimpinan
DPRD yang Diberhentikan
Bukittinggi - Kita baru saja mendengar kabar adanya surat
pergantian Ketua DPRD Bukittinggi yang diajukan oleh salah satu partai politik
Bukittinggi kepada Sekretaris DPRD Bukittinggi. Menanggapi hal ini Ketua
Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi,
Dr. (cand) Riyan Permana Putra, S.H., M.H., berharap pergantian Ketua DPRD
Bukittinggi agar dilakukan dengan demokratis agar tak terjadi konflik di salah
satu partai besar Bukittinggi. Karena konflik dan perpecahan internal partai,
terutama partai-partai besar sangat tidak produktif bagi partai, kota, dan
rakyat Bukittinggi.
"Di satu sisi, partai merupakan suatu organisasi otonom
yang sangat vital bagi kelangsungan demokrasi Bukittinggi, tetapi pada sisi
lain, perpecahan yang timbul berdampak bagi stabilitas sosial-politik dan
pemerintahan Kota Bung Hatta. Karena menurut aturan ketatanegaraan (UU Nomor 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik) partai politik adalah satu-satunya
organisasi yang secara khusus mempunyai tugas pokok untuk memanifestasikan
kekuatan sosial ke dalam kekuasaan politik. Dan menurut Miriam Budiarjo ilmuan
politik yang bukunya selalu dipakai sebagai pegangan wajib belajar pengantar
ilmu politik sendiri telah berpesan untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan
kebijaksanaan mereka," katanya di Bukittinggi pada Minggu (1/8/2021).
Pergantian pimpinan DPRD sendiri, berdasarkan Kajian PPKHI
Bukittinggi pimpinan DPRD Kota berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa
jabatannya karena salah satunya memang bisa karena diberhentikan sebagai
pimpinan DPRD. Pimpinan DPRD diberhentikan dari jabatannya salah satunya karena
diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
“Untuk perlindungan hukum bagi pimpinan DPRD yang
diberhentikan pimpinan DPRD tersebut bisa menempuh upaya hukum melalui Mahkamah
Partai Politik karena kompetensi perselisihan partai politik yang dapat dibawa
ke Mahkamah Partai dimaksud pasal 32 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik salah satunya adalah karena keberatan terhadap keputusan partai
politik tentang pemberhentian atau pergantian dirinya,” ujarnya alumni Universitas Indonesia ini.
Mahkamah Partai menjadi pintu pertama dan terakhir dengan
kekuatan putusan final dan mengikat secara internal. Tidak ada satu perkara
perselisihan internal partai yang dapat diteruskan ke Pengadilan Negeri (PN)
sebelum diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Partai. Kedudukan Mahkamah
Parta sebagai salah satu organ yang bersifat quasi peradilan dapat dilihat
dalam formula Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Partai Politik. Pasal 33 ayat
(1) dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU
Partai Politik tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui PN.
“Berdasarkan Kajian PPKHI Bukittinggi Putusan Mahkamah
Partai seperti putusan arbitrase. Pihak yang tidak setuju dengan putusan
arbitrase bisa mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Kalau tak puas juga
dengan putusan pengadilan negeri, para pihak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, sesuai Pasal 33 ayat 2 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik,”
ujarnya.
Riyan pun mengungkapkan jalan keluar meredam konflik partai
politik. Memang masuk atau keluarnya setiap warganegara dalam satu partai
adalah pilihan bebas dan merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi.
"Namun jika seorang warga negara yang telah dewasa
menyatakan diri bergabung dalam satu partai, berarti ia secara sadar telah
menundukkan diri dan terikat pada ketentuan-ketentuan peraturan partai yang
diatur dalam AD/ART. Artinya AD/ART menjadi UU bagi setiap orang yang
menyatakan diri bergabung dalam satu partai, jadi dengan mematuhi AD/ART
konflik dapat diredam," tutupnya.(*)
Komentar
Posting Komentar