Mencegah Korupsi Dana Bantuan Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) di Kota Bukittinggi


Mencegah Korupsi Dana Bantuan Coronavirus Desease 2019 (Covid-19) di Kota Bukittinggi
Oleh : Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

Pada Selasa, 14 April 2020 lalu Kejaksaan Negeri Bukittinggi (Kejari Bukittinggi) mewarning Pemerintah Kota Bukittinggi. Ini terkait dengan permintaan Kejari Bukittinggi agar Bukittinggi secepatnya meminta pendampingan kepada Kejari Bukittinggi terkait pergeseran (refusing) anggaran APBD yang akan digunakan untuk bantuan kepada masyarakat terdampak Coronavirus Desease 2019 (Covid-19).  Menurut keterangan Kejari sebelumnya pihak Kejari Bukittinggi telah menjalin komunikasi dengan pihak Pemko Bukittinggi, supaya Pemko Bukittinggi membuat surat secara tertulis dan meminta pendampingan terhadap pergeseran anggaran APBD yang akan digunakan itu. Besarnya anggaran yang disiapkan untuk bencana Covid-19 perlu mendapat perhatian serius. Salah satu aspek penting yang harus dicegah dalam pengelolaan dana saat bencana yaitu munculnya tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana bantuan bencana Covid-19.

Warning Kejari Bukittinggi terhadap pemerintah Kota Bukittinggi ini sangat mendukung sekali kebijakan Presiden Joko Widodo yang mana telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Perpres 54/2018 ini merupakan revisi dan penguatan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Presiden Jokowi pada 20 Juli 2018 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada hari yang sama. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi adalah terobosan dalam rangka memperkuat upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Ini suatu terobosan baru yang dibutuhkan untuk semakin memperkuat upaya pencegahan korupsi dan mencapai target peningkatan Indeks Persepsi Korupsi. Indeks persepsi korupsi terkait pelayanan publik yang transparan dan bebas pungli. Itu artinya indeks persepsi korupsi lebih berhubungan dengan pencegahan melalui sistem. Sebuah pemerintahan yang indeks korupsinya tinggi ternyata punya sistem pencegahan korupsi yang baik.

Sedangkan untuk masalah korupsi dana bantuan ini, jika kita lihat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hukuman maksimal untuk korupsi saat bencana diatur sangat keras bahkan hingga hukuman mati. Dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati untuk korupsi bencana alam itu ada dalam Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Kemudian dalam Ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Keadaan tertentu yang dimaksud sebagaimana ditulis dalam bagian penjelasannya UU adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Oleh karena ancaman yang sangat menakutkan tersebut, sangat perlu sekali Kota Bukittinggi mengedepan pencegahan korupsi. Dan sudah menjadi studi dari beberapa ahli pula bahwa kehebatan pemberantasan korupsi karena ternyata dilihat dari kehebatan pencegahannya. Mencegah korupsi menyelamatkan uang negara lebih banyak. Menangkap koruptor menyelamatkan lebih sedikit uang negara. Bisa saja koruptor sudah memakai uang yang dikorupsinya atau menaruhnya di luar negeri. Ini kehebatan lain pencegahan korupsi.

Meskipun pencegahan penting, namun menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) secara umum, pemberantasan korupsi selalu bertumpu pada empat strategi utama, yakni pendidikan antikorupsi, penindakan, pengawasan, dan pencegahan. Dan semuanya itu harus berjalan beriringan. Tak hanya pencegahan saja, pencegahan sendiri adalah strategi untuk menilai, mengevaluasi, dan memperbaiki secara terus-menerus celah dari sistem, prosedur, dan regulasi dalam birokrasi yang membuka peluang bagi korupsi. Keempat strategi itu adalah satu kesatuan, sayangnya keempat strategi besar itu belum berjalan paralel, bahkan terkesan sangat pincang. Ini terlihat adanya warning yang merupakan pencegahan dari Kejari Bukittinggi kepada Pemerintah Kota Bukittinggi yang menurut kabar Harian Haluan pada Selasa, 14 April 2020 lalu belum juga meminta pendampingan kepada Kejaksaan Negeri Bukittinggi terkait pergeseran (refusing) anggaran APBD yang akan digunakan untuk bantuan kepada masyarakat terdampak Covid 19.

Memaknai Warning Kejari Bukittinggi

Warning Kejari Bukittinggi sebenarnya mengingatkan kembali kepada kita semua bahwa korupsi sudah menjadi penyakit parah di negeri ini dan sangat sulit untuk disembuhkan. Berbagai upaya dalam mencegah dan menghilangkan praktek korupsi sudah sangat sering dilakukan. Baik dengan pembentukan peraturan perundang-undangan maupun pembentukan komisi atau badan penanggulangan tindak pidana korupsi. Namun korupsi tidak pernah mau pergi dari bangsa Indonesia. Di lembaga eksekutif ada korupsi, begitu juga di legislatif dan yudikatif. Tapi itulah kenyataannya, pelaku dugaan tindak pidana korupsi datang silih berganti. Belum tuntas satu kasus diputus pengadilan, tertangkap lagi pelaku dugaan korupsi berikutnya.

Lalu warning dari Kejari Bukittinggi juga perlu diapresiasi karena sungguh merupakan peringatan untuk berbuat adil dalam menjamin kebahagian warga kota di tengah pendemi Covid-19 yang sangat menghancurkan berbagai sendi kehidupan di abad ini. Diperkuat dengan pendapat Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami yang merupakan seorang Bapak Ilmu Sosial Modern, ia menyebutkan seharusnya kita memiliki pemerintahan yang bernalar, pemerintahan yang bernalar dimaksud Ibnu Khaldun adalah pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dibuat oleh cendekiawan. Oleh karena itu, yang sangat penting adalah terwujudnya pemerintahan yang berpihak kepada rakyat, mencegah korupsi, dan berbuat adil karena dari sikap yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.

Selanjutnya kita juga harus memaknai warning Kejari Bukittinggi dengan melihat  kembali ungkapan John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833-1902) yang menyatakan power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak).  Jika kekuasaan absolut masih digandrungi oleh banyak manusia maupun institusi sebuah kota, bahkan banyak yang fobia jika kekuasaannya tidak tak terbatas, impresi yang berlebihan terhadap pembatasan kekuasan adalah kewajaran menurut daya nalar manusia, namun semestinya diletakkan pada kelaziman bangunan organ pemerintahan. Akan lebih baik pemimpin sebuah kota mengedepankan prinsip check and balances, prinsip yang wajar dan lazim dipergunakan kota yang hidup di era demokrasi, di mana organ-organ dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaiknya sehingga segala bentuk penyalahgunaan kekuasan dapat dicegah dan ditanggulangi. Apalagi masyarakat sangat membutuhkan sekali bantuan saat Covid-19 ini. Sungguh sangat disayangkan bantuan tidak sampai kepada masyarakat tidak sebagaimana mestinya.

Warning dari Kejari ini mengingatkan juga kepada Pemerintahan Bukittinggi untuk terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Good governance merupakan kunci keberhasilan dalam menangkal tumbuhnya praktik-praktik korupsi. Untuk itu, diperlukan pemerintahan kota yang memiliki kapasitas dalam menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip good governance. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, meletakkan tujuh asas penyelenggaraan negara yang baik atau prinsip-prinsip good governance. Asas-asas ini meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabiltas. Tiga pilar utama good governance adalah partisipasi masyarakat (asas kepentingan umum), akuntabilitas, dan transparansi (asas keterbukaan)

Namun pada akhirnya upaya pengawasan dan pencegahan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh respons sebuah pemerintahan kota atas berbagai rekomendasi reformasi kelembagaan. Hal ini karena sifat dari rekomendasi dan resep anti-korupsi sebuah lembaga pengawasan kepada badan publik lain tidak bersifat memaksa dan mengikat. Ketika berbagai badan publik yang diduga akan memiliki rapor korupsi tidak dipaksa melakukan perubahan oleh atasannya, pemberantasan korupsi tidak akan efektif. Di sini peran kepemimpinan walikota menjadi sangat sentral. 

Maka, walikota perlu memiliki gambaran yang lebih konkret bagaimana mengelola dan mengefektifkan strategi pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari wewenang melekat padanya. Jika suatu saat korupsi kembali terjadi di Bukittinggi, Kota Bung Hatta, di Kota Bapak Bangsa yang tekenal anti korupsi, bersahaja, sederhana, dan disiplin ini sungguh miris. Bahkan nama Bung Hatta, bapak bangsa yang lahir di Bukittinggi ini menjadi nama ajang penganugerahan penghargaan bagi insan Indonesia yang dikenal oleh lingkungan terdekatnya sebagai pribadi-pribadi yang bersih dari praktik korupsi, tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya, menyuap atau menerima suap, dan berperan aktif memberikan inspirasi atau mempengaruhi masyarakat atau lingkungannya dalam pemberantasan korupsi. Adalah sungguh memalukan dan kegagalan jika korupsi terjadi di Bukittinggi. Kegagalan pemberantasan korupsi oleh kota sejatinya mencerminkan kegagalan pemberantasan korupsi oleh walikota sebagai komando. Karena di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 67 huruf dijelaskan bahwa walikota yang merupakan kepala daerah berkewajiban menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.

Solusi mencegah korupsi dana bantuan Covid-19 di Bukittinggi

Ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik korupsi dana bantuan bencana, termasuk dalam dana bantuan untuk penanganan virus corona yang akan segera dikucurkan pemerintah. Pertama, pemerintah dan lembaga penegak hukum perlu memberikan peringatan disertai sanksi tegas kepada pejabat yang melakukan korupsi dana bantuan bencana. Kedua, pengelolaan dana bencana harus transparan dan akuntabel. Ketiga, membuat suatu gugus tugas yang akan menerima pengaduan dari masyarakat dan mengawasi penggunaan dana khusus bencana. Kejaksaan dan kepolisian dapat saja membentuk tim gabungan untuk mengawasi penggunaan dana bencana penanganan virus corona. Dan terakhir, rakyat harus berdaya dan aktif mengawasi dana bantuan corona karena menurut Bung Hatta, “Hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Begitu juga dengan pergerakan rakyat. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua PPKHI Kota Bukittinggi Luncurkan E-Lawyer for City (Akses Pelayanan Hukum Secara Digital Semakin Mudah di Bukittinggi)

Ketua PPKHI Bukittinggi dan Cucu Syech Tuanku Mato Aia Hadiri Ziarah Syech Tuanku Aluma di Koto Tuo serta Ungkap Potensi Wisata Religi

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum (PPKHI) Kota Bukittinggi : Segera Daftar Ujian Profesi Advokat (UPA) Gratis di Seluruh Indonesia dan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Class Online dengan Biaya Terjangkau serta Pengambilan Sumpah Advokat dengan Biaya Terjangkau di Pengadilan Tinggi Padang

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Jalan Tengah Polemik Pasa Pabukoan di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bukittinggi

Riyan Permana Putra, S.H., M.H. Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Kota Bukittinggi Ungkap Epicentrum Penyebab Sengketa Tanah Ulayat di Sumatera Barat

Riyan ungkap Solusi agar Polemik Pengelola Pasar Nagari dan Pedagang di Kabupaten Agam Tak Terulang

Postingan Pemimpin Kota untuk Netizen Disertai Video Anjing, Ini Tanggapan Direktur LBH Bukittinggi

Jika Tidak Ingin Ada Turbulensi, Pemimpin Bukittinggi Jangan Menjadi King of Lip Service

Peningkatan Kasus Perceraian saat Covid-19 (Langkah Hukum Menghadapi Perceraian di Bukittinggi)