Harapan untuk Bukittinggi disaat New Normal
Harapan untuk Bukittinggi disaat New Normal
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
Setelah Kota Padang yang merupakan ibukota provinsi tumbang.
Kota Bukittinggi yang memiliki salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di
Pulau Sumatra. Dan jika dilihat dari sektor perekonomian merupakan kota dengan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar kedua di Sumatra Barat kembali menjadi harapan.
Harapan kepada Bukittinggi tak berlebihan, sejak dahulu berkali-kali kota ini
mencatat sejarah. Insyaallah memang benar, selama ini ungkapan klasik yang
menyatakan Bukittinggi diciptakan yang kuasa dalam keadaan tersenyum, ranahnya
para bidadari, dan ranah para pahlawan negeri.
Bukittinggi pun pernah menjadi
penyangga negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini saat dalam
keadaan darurat. Ini terpatri jelas dalam sejarah, kota ini menjadi tulang
punggung republik dikala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pada
masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai
kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai
Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau
dikenal dengan PDRI. Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari
Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18
Desember 2006.
Dan kini, saat new normal, Kota Bukittinggi menjadi merupakan
satu-satunya daerah di Sumatra Barat yang telah mencabut status Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dilanjutkan dengan penerapan new normal, hidup
berdampingan dengan covid-19 yang dimulai sejak 1 Juni 2020. Adapun 18 daerah
lain masih menjalankan PSBB Tahap 3 hingga 7 Juni 2020. The New Normal
(kenormalan baru) sendiri merupakan istilah dalam bisnis dan ekonomi yang
mengacu pada kondisi keuangan setelah krisis keuangan 2007-2008 dan setelah
resesi global 2008-2012. Sejak itu istilah ini telah digunakan dalam berbagai
konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak normal telah
menjadi biasa.
Kita tentu masih ingat gerak cepat Bukittinggi dalam
penanganan covid-19 ini antara lain dengan mengambil kebijakan-kebijakan
seperti, menutup semua ojek wisata berbayar, meliburkan sekolah dengan study from home, merumahkan Aparatur
Sipil Negara (ASN) dengan work from home
mulai dari ibu hamil dan ibu menyusui serta pejabat eselon IV ke bawah,
membebaskan retribusi pelayanan pasar dan pasar grosir, pembebasan pembayaran
pajak hotel, memberikan bantuan jaring pengaman sosial dalam bentuk pangan,
pembebasan retribusi parkir serta pengambilan kebijakan lainnya dalam protokol
kesehatan.
Perbedaan Pandangan
Menanggapi New Normal Bukittinggi
Ada beberapa tanggapan berbeda tentang pencabutan PSBB di
Bukittinggi, Ahli Epidemiologi Universitas Andalas (Unand) Padang, Defriman
Djafri menilai pencabutan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di
Kota Bukittinggi sama sekali tidak berdasar. Menurutnya, penerapan kenormalan
baru itu bukanlah ajang uji coba. Disisi lain Asosiasi Perusahaan Perjalanan
Wisata (ASITA) dan insan pariwisata di Bukittinggi mengapresiasi langkah Bukittinggi untuk
mendukung kebangkitan sektor pariwisata yang terpukul berat oleh pandemi covid-19. Insan pariwisata Bukittinggi, mengapresiasi keberanian Gubernur Sumatera Barat dan Pemerintah Kota Bukittinggi untuk keluar dari PSBB. Keputusan ini tentu akan
membuat ekonomi warga terutama bidang kepariwisataan dapat menggeliat kembali. Apalagi
manusia sesungguhnya makhluk bermain, homo
ludens. Ia tidak mau dipasung waktu dan tempat. Ia ingin terus bergerak.
Sebenarnya sebelum pemerintah Provinsi Sumatera Barat
melonggarkan PSBB dan memberlakukan situasi normal baru di Bukittinggi, sudah
dilihat beberapa persyaratan mendasar yang harus dipenuhi dalam pencabutan,
seperti termaktub dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 sudah mengatur
tata cara pencabutan PSBB.
Pelonggaran bisa dilakukan jika jumlah kasus atau
jumlah kematian akibat penyakit tidak lagi meningkat dan menyebar secara cepat.
Kurva kasus virus corona di daerah tempat destinasi wisata menurun, memiliki basic reproduction number (R0) di bawah
satu, effective reproduction number
(Rt) di bawah 1 sehingga betul-betul secara bertahap kita bisa membuka sektor
pariwisata. Laju penyebaran corona dapat dikatakan rendah jika angka
pertumbuhan R0 dan angka Rt dari virus corona sudah di bawah 1. Lalu diikuti
pula dengan kebijakan pemberian sanksi, jika ada pelaku usaha pariwisata yang
tidak mengikuti protokol kesehatan pemerintah akan dikenakan sanksi. Dan sektor
pariwisata dapat kembali dihentikan jika sewaktu-waktu kasus positif virus
corona kembali meningkat.
Pariwisata
Bukittinggi Lumpuh
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian
Pegunungan Bukit Barisan atau sekitar 90 km arah utara dari Kota Padang. Kota
ini berada di tepi Ngarai Sianok dan dikelilingi oleh dua gunung yaitu Gunung
Singgalang dan Gunung Marapi. Lokasinya pada ketinggian 909–941 mdpl menjadikan
Bukittinggi kota berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Keindahan,
kesejukan, kedamaian Bukittinggi memang
sudah tersohor dari dahulu, hingga kota Bung Hatta ini mendapat julukan Parijs van Sumatra. Diperkuat pada
tanggal 11 Maret 1984 Bukittinggi dicanangkan sebagai Kota Wisata dan Daerah
Tujuan Wisata Utama di Sumatera Barat. Dan pada bulan Oktober 1987 ditetapkan
sebagai daerah Pengembangan Pariwisata Propinsi sumatera Barat dengan Perda
Nomor : 25 tahun 1987.
Namun semenjak covid-19 melanda, bisnis pariwisata di kota
wisata pun terganggu. Aktivitas penerbangan, perhotelan, kawasan dan objek
wisata, jasa kuliner, serta bisnis terkait pariwisata lain nyaris lumpuh. Dampak
Covid-19 terhadap pariwisata sangat banyak karena industri pariwisata di
Indonesia mempunyai keterkaitan dengan industri yang lain yaitu perhotelan,
tranportasi, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terutama yang menghasilkan
condera mata dan kuliner, restoran, biro perjalanan wisata dan pemandu wisata.
Data Organisasi Pariwisata Dunia memprediksi penurunan
aktivitas wisatawan internasional tahun ini lebih dari 30%. Aktivitas wisata di
berbagai belahan dunia pun diperkirakan anjlok sampai 90%. Bali, sebagai
destinasi utama Indonesia, mengacu data Gabungan Industri Pariwisata Indonesia
Februari hingga April lalu, menderita potensi kerugian hingga US$9 miliar atau
setara Rp135 triliun. Untuk Bukittinggi sendiri, Kota Bukittinggi yang
merupakan salah satu daerah unggulan tujuan wisatawan di Sumbar, menjadi salah
satu yang terdampak. Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Bukittinggi
mencatat total kerugian di sektor pariwisata mencapai Rp9 miliar selama tiga
bulan terakhir.
Bahkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi
(Disnakertrans) Sumatera Barat mencatat 10.690 orang kehilangan pekerjaan
mereka sebagai dampak pandemi covid-19. Secara rinci, 10.060 orang dirumahkan,
dan 630 orang lainnya di-PHK (pemutusan hubungan kerja). Disnakertrans Sumatera
Barat mengatakan sebanyak 5.960 orang di antaranya di Padang, 1.278 orang di
Bukittinggi, 785 orang di Padang panjang, dan lainnya tersebar di Solok,
Payakumbuh, hingga Mentawai.
Serta dalam pantauan kasus pidana, meningkatnya pemakaian
pasal 363 KUHP di Bukittinggi dan Sumatera Barat sebagaimana tergambar pada Maret
2020, Polres Bukittinggi meringkus tersangka pencuri spesialis padi dan beras serta
kasus pencurian di Kantor PMI Kota Bukittinggi. Lalu pada April 2020, aksi
pencurian ponsel dengan pemberatan yang dilakukan di Plasa Andalas dan maling
motor diseret warga ke sel polres Bukittinggi. Masih pada April 2020 Polres Bukittinggi menangkap tujuh tersangka
kasus pencurian kendaraan bermotor selama Operasi Jaran Singgalang 2020.
Dengan
bertambahnya jumlah pengangguran dan tindakan kriminal akibat lumpuhnya sektor bisnis bisa diprediksi akan meningkatkan jumlah kriminalitas di Bukittinggi.
Perekonomian akan terpuruk akibat tidak adanya rasa aman dalam bekerja dan
berusaha. Kita berharap pemerintah bisa menjamin agar warga negara bekerja
seperti biasa tanpa takut adanya covid-19. Namun, tentu saja dengan tetap
menjaga jarak, rajin cuci tangan, dan pakai masker.
Membangkitkan Kembali
Wisata Bukittinggi
Jika wisata Bukittinggi ini tak segera dibangkitkan dan
penurunan serta penghentian aktivitas wisata ini terus berlangsung. Kematian
industri pariwisata di Bukittinggi dan Sumatera Barat pun tinggal menunggu
waktu. Kondisi itu tentu tidak boleh dibiarkan. Dalam situasi sulit ini, harus
ada terobosan agar sektor pariwisata menggeliat kembali. Sektor ini harus mulai
bergerak dan produktif ketika pandemi belum sepenuhnya dapat diatasi.
Karena
itu, kita mengapresiasi langkah Gubernur Sumatera Barat yang berkolaborasi
dengan pemerintah Kota Bukittinggi yang mendorong sektor pariwisata agar tetap
produktif di masa sulit ini. Apalagi rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan
mancanegara ke Indonesia dalam lima tahun terakhir (2014-2018) mencapai 14% per
tahun. Diperjelas dengan fakta baru, bahwa dalam dua tahun terakhir, pariwisata sudah menggeser kelapa
sawit dan tambang dalam hal menyumbang devisa terbesar negara. Sumbangan
pariwisata pada 2018 mencapai US$17 miliar.
Agar tetap survive,
industri pariwisata Bukittinggi memang harus menyesuaikan diri dengan kondisi
pandemi. Jika situasi pandemi di era kenormalan baru menuntut semua orang untuk
menjalankan protokol kesehatan, industri pariwisata pun harus mengadopsi
ketentuan itu dalam mengemas jasa layanan. Standar baru, kebiasaan baru, dan
kultur baru di sektor pariwisata harus dikembangkan sehingga produk baru
pariwisata yang tepat dan memuaskan pun dapat dikreasikan dan disodorkan kepada
para wisatawan era new normal. Ada berbagai usulan, seperti: Solo travel tour, wellness tour, virtual
tour, dan staycation ialah produk wisata yang dapat disebut sebagai contoh
dari alternatif liburan yang diprediksi bakal laku dijual di era new normal.
Dan kesehatan dan kenyamanan di beragam sektor mulai dari atraksi, akomodasi,
transportasi, preferensi produk, hingga label higienis akan menjadi tren yang
diminati wisatawan.
Dalam mendukung pariwisata di Bukittinggi di era new normal
ini, hal yang bisa dilaksanakan adalah Pertama,
Industri pariwisata di Bukittinggi sangat membutuhkan digitalisasi untuk
mendukung sektor perekonomian menyambut tatanan hidup baru atau new normal. Implementasi
digitalisasi transaksi itu tidak hanya terbatas pada industri pariwisata
seperti obyek wisata, hotel dan restoran. Namun juga industri pendukungnya,
seperti transportasi, pusat perbelanjaan hingga rumah sakit. Salah satu
komponen dalam protokol kesehatan adalah metode transaksi non-tunai. Hal ini
penting untuk dilakukan karena setidaknya dua alasan. Pertama, uang tunai dapat
menjadi media penyebaran virus yang harus kita hentikan. Kedua, transaksi non tunai
sebenarnya merupakan metode transaksi yang efektif dan aman. Hal ini merupakan
momentum yang baik bagi semua pihak untuk mulai menggalakkan gerakan masyarakat
non-tunai (cashless society).
Kedua, dengan
menerapkan carrying capacity wisata
Bukittinggi, di beberapa negara lain, naik gunung dibatasi per hari cuma 190
orang. Tujuannya, untuk menjaga alamnya. Supaya dapat dikontrol dan sampahnya
juga ngga terlalu banyak. Hal seperti itu juga dapat diterapkan di Bukittinggi
untuk, seperti membatasi pengunjung hotel dan restoran, untuk sementara
diberlakukan maksimal 50 %. Ketiga,
dengan menggalakkan travel insurance (asuransi
kesehatan). Masyarakat yang biasanya soal asuransi kesehatan dan keselamatan dalam
wisata tidak terlalu memikirkannya. Sekarang harus menjadi lebih aware bahwa asuransi wisata ini perlu. Asuransi
wisata memberikan perlindungan jiwa bagi wisatawan baik wisatawan mancanegara
maupun wisatawan nusantara. Asuransi wisata ini sama dengan asuransi jenis
lainnya, seperti asuransi kesehatan dan asuransi jiwa. Bedanya, asuransi perjalanan
ditujukan buat para traveler dan asuransi ini akan menanggung biaya yang dikeluarkan
jika mendadak jatuh sakit atau mengalami kecelakaan ketika bepergian ke tempat
wisata di dalam negeri atau luar negeri.
Komentar
Posting Komentar