Masyarakat Sumatera Barat dapat Menyelesaikan Permasalahan Mosi Tidak Percaya terhadap Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi
Masyarakat Sumatera Barat dapat Menyelesaikan Permasalahan Mosi Tidak Percaya terhadap Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Kota Bukittinggi dan juga merupakan Tim Asistensi Hukum Pendampingan Aksi Buruh di Hari Buruh Sedunia Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) Tahun 2018-2019)
"Jika Anda bergetar saat melihat ketidakadilan, berarti Anda kawan saya" — Prof. Dr. KH. Abdul Somad mengutip Che Guevara tokoh revolusioner Amerika Latin dalam ceramah di Masjid Al-Ikhlas, Jalan Ikhlas, Labuh Baru, Pekanbaru, Riau pada 1 Oktober 2018.
Kita tentu ingat demo brutal yang dilakukan oknum mahasiswa dari berbagai universitas di Sumatera Barat yang melakukan aksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat pada 25 September 2019 silam. Kita miris gedung yang dibeli dengan uang rakyat dirusak. Di hampir semua ruangan yang ada di gedung DPRD Sumatera Barat itu kaca-kaca dipecahkan, kursi-kursi dirusak, serta tembok diwarnai grafiti dengan kata-kata makian terhadap anggota dewan. Ada pula kalimat kecaman atas pengesahan revisi Undang-Undang KPK. Kita sebagai masyarakat Sumatera Barat yang merupakan ranahnya pendiri bangsa, ranahnya bapak bangsa pertama yang berpikir Indonesia merdeka tentu tak ingin aksi oknum yang brutal ini terulang.
Sekarang kekhawatiran kita berlanjut setelah adanya mosi tak percaya sebagai reaksi disahkannya omnibus law oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tak hanya di Jakarta, di
Sumatera Barat kita juga mendengar hiruk pikuk adanya mosi tak percaya dari
sebagian masyarakat terhadap omnibus law. Memang di mana ada ketidakadilan
setiap hati suci manusia akan tergerak, sebagaimana Ustad Abdul Somad pernah
mengutip Che Guevara berbicara, "Jika Anda
bergetar saat melihat ketidakadilan, berarti Anda kawan saya." Bahkan, Ustad
Abdul Somad menyebut Ernesto Guevara Lynch de La Serna atau dikenal dengan nama
Che Guevara yang merupakan tokoh revolusioner sekaligus tokoh pergerakan
Amerika Latin itu menjadi inspirasinya.
Ketidakadilan di sini karena pemerintah dan DPR yang menurut Undang-Undang
Dasar 1945 di dalam Bab VII pada Pasal 20 ayat (1) dan (2) adalah subjek
pembentuk undang-undang sengaja menutup ruang aspirasi publik dalam pembahasan
RUU Cipta Kerja. Pemerintah sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif secara
tertutup melanjutkan pembahasan rancangan omnibus law itu ketika masyarakat
terlelap di malam hari dan sibuk dengan covid-19.
Dari berbagai tinjauan yuridis normatif, pembahasan RUU Cipta Kerja
sejatinya cacat sejak awal. Pemerintah melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 ketika merumuskan RUU Cipta Kerja secara tidak terbuka dan mengabaikan
aspirasi publik. Pasal 96 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan itu menjamin hak masyarakat untuk memberi masukan dalam
perumusan undang-undang. Namun pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha
dan sebagian civitas akademika dalam menyusun rancangan omnibus law yang
mengubah 1.244 pasal yang terdiri dari 79 undang-undang itu.
DPR memang sempat mengundang dan meminta masukan perwakilan serikat buruh.
Namun yang terjadi ada DPR dan pemerintah mengabaikan masukan dari kalangan
buruh. Ini memperlebar jurang ketidakseimbangan antara buruh dan pengusaha.
Dalam RUU Cipta Kerja tersebut juga terdapat pasal-pasal dalam ombibus law yang
bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan serta ada juga pasal yang melemahkan
desentralisasi dan mencederai check and balances.
Terlihat sekali pemerintah dan DPR sangat memihak kepada kepentingan pengusaha dengan mengabaikan hak-hak buruh. Kita tak perlu terkejut, karena jika kita lihat secara matematis, pengusaha menempati porsi cukup besar dalam komposisi DPR periode 2019-2024. Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo menemukan 262 orang atau 45,5 persen dari 575 anggota DPR menduduki posisi penting atau terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat pada 1.016 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Padahal jika kita lihat dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa warga negara mempunyai kedudukan yang sama didalam hukum, baik meliputi hukum private maupun hukum public. Barangkali secara yuridis, pasal tersebut dapat dikontekstualisasikan bahwa hubungan antara buruh dan majikan mempunyai hak sama untuk mendapatkan perlindungan kepastian hukum.
Walaupun secara sosiologis praktek di lapangan, ternyata selalu saja terdapat
benturan hak dan kewajiban, banyak pergolakan dan pelecehan terhadap hak-hak buruh.
Kasus-kasusnya pun beragam, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak,
pemberian upah minimum (UMR) yang tidak standar, kesejahteraan, atau pun
kesehatan dan keselamatan kerja yang kurang diperhatikan serta sekarang adanya
omnibus law yang merugikan hak buruh. Ironisnya, semua itu adalah demi efesiensi
produksi yang hanya membela pengusaha tanpa memperhatikan kegetiran hati buruh. Bangsa ini jelas membutuhkan investasi. Namun, harus dipahami, investasi tidak akan bisa bekerja tanpa ada keterlibatan kaum pekerja, terlebih saat covid-19 tak kunjung bisa terkendali.
Kita bisa melihat juga dalam UU Cipta kerja yang mana Pasal 59 UU Nomor 13
Tahun 2003 menyatakan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang
atau diperbaharui. Pemerintah dalam UU yang akan disahkan 5 Oktober 2020 lalu tersebut
menghapus aturan perjanjian kerja antarwaktu pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan ini diketahui dari draf
omnibus law RUU Cipta Kerja yang sudah disampaikan oleh pemerintah ke DPR. Dengan
dihapuskannya Pasal 59, tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak.
Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup. Ini yang
dikhawatirkan buruh, yang semakin meneguhkan perbudakan di era millenial.
Sudah tidak dapat kita pungkiri lagi, di mana ada ketidakadilan akan melahirkan perlawanan dari buruh dan masyarakat luas yang peduli dengan nasib buruh, termasuk di Sumatera Barat. Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat dimuka umum, penyampaian aspirasi atau demontrasi memang tidak dilarang. Tapi perlawanan mosi tak percaya yang dilakukan masyarakat Sumatera Barat disituasi covid-19 ini tentu harus dengan melancarkan aspirasi tanpa mengabaikan protokol kesehatan secara damai, kondusif dan tak mengulangi demo brutal seperti 25 September 2018 silam. Apalagi sekarang situasi covid-19 dan di Sumatera Barat telah disahkan Peraturan Daerah Adaptasi Kebiasaan Baru yang pertama di Indonesia.
Serta bisa juga melakukan aksi di meja hijau, yaitu upaya hukum lanjutan berupa uji
materi ke Mahkamah Konstitusi setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 8
Oktober 2020 nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 1 huruf a sendiri menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi kita sebagai masyarakat Sumatera Barat harus mematuhi
protokol kesehatan dalam segala kegiatan dan menjunjung tinggi kedamaian dalam pengajuan aspirasi. Begitu juga dengan pihak keamanan agar dapat secara tegak lurus melaksanakan tugas dengan mengacu kepada Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Protap Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarkis agar tidak ada korban jiwa dari pihak pengaju dan pengamanan aspirasi.(*)
Komentar
Posting Komentar