Restorative Justice dalam Kasus Pembunuhan yang Dilakukan oleh Anak
Restorative Justice dalam Kasus Pembunuhan yang Dilakukan oleh Anak
pengacarabukittinggi.blogspot.com , Bukittinggi - Polisi telah mengamankan pelaku yang masih berusia 17 tahun dan masih masuk kategori anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang kemudian dibawa ke Mako Polres Bukittinggi. Sebelumnya, perkelahian antar pelajar terjadi pada Sabtu (6/2/2021) sekitar pukul 12.00 WIB di Bukittinggi yang mengakibatkan siswa MAN Bukittinggi meninggal dunia.
Menurut Kasat Reskrim Polres Bukittinggi, AKP Chairul Amri
Nasution, kejadian berawal dari percakapan pesan melalui aplikasi WhatsApp
pelaku dengan korban terkait masalah asmara. “Pelaku berpacaran dengan seorang
gadis yang merupakan mantan pacar korban. Pelaku dan korban janjian untuk
bertemu di lokasi TKP,” katanya.
Ketika korban bersama temannya sampai di lokasi yang telah
di janjikan, korban turun dari motor. Pelaku pun langsung memukul kepala korban
menggunakan helm milik pelaku sehingga korban terjatuh ke aspal.
“Perkelahian tersebut sempat dilerai warga yang berada
disekitar TKP,” jelasnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, menyatakan berbelangsungkawa atas meninggalnya pelajar MAN Bukittinggi. "PPKHI Kota Bukittinggi turut berduka cita atas meninggalnya pelajar MAN Bukittinggi dan berharap kejadian serupa tidak terulang," ungkapnya.
Riyan juga mengungkapkan bahwa, "Memang dalam pemidanaan anak yang berhadapan dengan hukum dikenal asas ultimum remedium di samping asas
kepentingan terbaik bagi anak yang memiliki landasan hukum dalam instrumen-instrumen
internasional, seperti: Beijing Rules, Riyadh Guidelines, dan Peraturan-peraturan
PBB bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya.
"Meski demikian dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang berhadapan dengan hukum tidak dapat digunakan upaya restorative justice, yang biasanya tercermin dalam diversi, yaitu aspek non litigasi dalam menyelesaikan perkara. Pada proses diversi, penyelesaian kasus diupayakan sebisa mungkin di luar peradilan,” ujarnya.
Riyan menjelaskan lebih lanjut, “Karena sebagaimana dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dijelaskan bahwa diversi itu sendiri dapat dilakukan hanya apabila ancaman
pidananya dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana,
sedangkan kasus pembunuhan itu sendiri menurut pasal 338 KUHP ancaman pidananya
15 tahun untuk orang dewasa sedangkan untuk anak yang melakukan delik tersebut
maka dikurangi ½ dari ancaman pidana
orang dewasa yakni 7,5 tahun,” pungkasnya.
Namun demikian Riyan tetap menekankan perlunya perlindungan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sejak proses awal penanganannya
sampai pada pelaksanaan hukuman. Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, perlindungan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum melalui beragam bentuk. Anak berhadapan hukum, dibagi atas 3 klasifikasi yaitu sebagai Anak Pelaku, Anak Korban, dan Anak
saksi. Selain itu dalam penanganannya Anak berhadapan hukum harus dibedakan
dari orang dewasa pada setiap tingkatan proses, baik itu dari mulai
penyelidikkan, penyidikkan maupun saat litigasi. Selain itu, setiap pelaksanaan
proses anak wajib didampingi oleh pendamping, sebagaimana keterangan dalam
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang menyatakan, dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(*)
Komentar
Posting Komentar