Belajar dari Penangkapan Munarman
Belajar dari Penangkapan Munarman
pengacarabukittinggi.blogspot.com , BUKITTINGGI - Penangkapan mantan Sekretaris Umum (Sekum) DPP Front Pembela Islam (FPI), Munarman, oleh Densus 88 menurut Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H. tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mensyaratkan bahwa penangkapan harus didahului dengan penetapan status tersangka.
Munarman ditangkap di kediamannya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan Banten, Selasa (27/4/2021) sore saat menunggu waktu berbuka puasa. Video proses penangkapan Munarman pun langsung viral di berbagai platform media massa. Saat ditangkap, tangan Munarman diborgol dan digiring masuk ke dalam mobil polisi yang menunggu di depan rumahnya.
"Penetapan status tersangka juga harus berdasarkan kekuatan 2 alat bukti minimal dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015," ujarnya Riyan di Bukittinggi, Sabtu (1/5/2021).
Riyan juga menyebut, dengan melanggar prasyaratan dalam penangkapan maka penangkapan Munarman bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Karena belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan (in casu calon tersangka).
"Maka penangkapan tersebut juga dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang pada intinya tidak mendapatkan atau tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku," paparnya.
Dan juga seharusnya Munarman itu dipanggil secara patut saja. Upaya-upaya penangkapan Munarman juga melanggar ketentuan hukum, yaitu pasal 28 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karna tidak memperhatikan dan mengabaikan hak asasi tersangka. Dalam hal ini Munarman diseret-seret, sampai tidak sempat menggunakan alas kaki dan tidak didampingi oleh kuasa hukum," tambahnya.
Pelajaran dari Penangkapan Munarman
Jadi, dari kasus penangkapan Munarman kita belajar penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Adalah kewajiban Polri dalam melakukan penangkapan adalah untuk tidak berlaku sewenang-wenang terhadap “terduga”/tersangka tindak pidana.
"M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan menyatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP," tutupnya.
Dan dalam Kajian Hukum PPKHI Kota Bukittinggi terkait penangkapan Munarman ini pelajaran selanjutnya adalah kita harus melek hukum dan mengerti tentang kewajiban petugas Polri dalam melakukan penangkapan. Sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian , yaitu: 1. memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri; 2. menunjukkan surat perintah penangkapan kecuali dalam keadaan tertangkap tangan; 3. memberitahukan alasan penangkapan; 4. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; 5. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan; 6. senantiasa melindungi hak privasi tersangka yang ditangkap; dan 7. memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut, berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan hukum dan/atau didampingi oleh penasihat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.
Selain itu masyarakat juga harus disosialisasikan mengenai hak tersangka saat ditangkap, seperti: 1. Meminta surat tugas dari petugas Polri yang akan menangkap; 2. Meminta surat perintah penangkapan; 3. Setelah seseorang ditangkap, maka dia berhak: a. Menghubungi dan didampingi oleh seorang penasihat hukum/pengacara; b. Segera diperiksa oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum; c. Minta untuk dilepaskan setelah lewat dari 1 X 24 jam; d. Diperiksa tanpa tekanan, seperti intimidasi, ditakut-takuti dan disiksa secara fisik; 4. Tidak mendapat penyiksaan dari pihak yang berwajib; 5. Bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa; 6. Berhak untuk diperlakukan sebagai orang belum tentu bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan (asas praduga tak bersalah).
Sebelumnya Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, Munarman ditangkap Densus 88 Antiteror lantaran diduga terlibat dalam kegiatan baiat teroris di tiga kota. Polri belum menjelaskan secara detail peran Munarman dalam proses baiat teroris.
"(Ditangkap terkait) baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan," jelas Kombes Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (27/4/2021).(*)
Komentar
Posting Komentar