Ketua PPKHI Bukittinggi: Perwako Diuji ke MA bukan ke PTUN dan Jelaskan PAD yang Sesuai dengan Hak Pedagang
Ketua PPKHI Bukittinggi: Perwako Diuji ke MA bukan ke PTUN dan Jelaskan PAD yang Sesuai dengan Hak Pedagang
pengacarabukittinggi.blogspot.com , Bukittinggi – Ketua Perkumpulan
Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Dr (cand). Riyan
Permana Putra, S.H., M.H., menanggapi serius perkembangan aspirasi terkait
Perwako 40/41. Adapun yang terbaru adalah adanya kabar akan adanya praktisi
hukum yang akan mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika
terlaksana pencabutan Perwako 40/41. Menurut alumni Universitas Indonesia ini,
disini kita harus jelas melihat perbedaan antara keputusan (Beschikking) dan
peraturan (Regeling).
Produk keputusan memang digugat melalui PTUN,
sedangkan produk peraturan diuji (Judicial Review) langsung ke Mahkamah Agung
(MA) atau kalau untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
Perwako itu merupakan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang
harus diuji ke MA bukan ke PTUN.
“Kewenangan MA untuk menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang merupakan kewenangan konstitusional dari ketentuan Pasal
24 A ayat 1 UUD 1945. Dan selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2)
huruf b UU Nomor 48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan MA
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang,” katanya di Bukittinggi, pada Senin (12/04/2021).
"Apalagi jika kita lihat Pasal 2 huruf b UU Nomor 5 Tahun
1986 tentang PTUN yang menjelaskan tidak termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum," jelasnya.
Riyan menjelaskan lebih lanjut tentang keberpihakan kepada pedagang. “Sudah jelas merupakan kajian dan rekomendasi dari Komnas HAM yang
tertuang dalam Surat rekomendasi Komnas HAM Pusat nomor: 013/TUA/I/2020 ke
Presiden RI itu dengan perihal: Dugaan Pelanggaran HAM dalam Penataan Beberapa
Pasar di Kota Bukittinggi. Dalam rekomendasi Komnas HAM tersebut dijelaskan
bahwa ada potensi pelanggaran HAM oleh walikota atas pedagang terkait hak
ekonomi para pedagang untuk mendapatkan penghidupan yang layak yang dijamin UU Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, terhalang oleh kebijakan walikota Bukittinggi
yang menaikkan tarif retribusi yang sangat tinggi sehingga tidak mampu
dijangkau oleh para pedagang maupun relokasi pasar yang secara ekonomis tidak
accessible bagi para pedagang,” terangnya.
PAD yang Sesuai dengan Hak Ekonomi Pedagang
PAD yang sesuai dengan hak ekonomi pedagang tentu yang tak bertentangan dengan HAM. “Terkait kekurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akibat pencabutan Perwako, saya kira Walikota
Bukittinggi yang baru dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah
menemukan solusinya tanpa melakukan pelanggaran HAM terkait hak ekonomi
pedagang. Jika kita lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kota Bukittinggi tahun 2021-2026 Wali Kota Bukittinggi dalam perencanaannya ke
depan akan segera mewujudkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sudah
memikirkan peluang perolehan uang di sektor pariwisata di kota Bukittinggi
berada di rentang Rp 300 – Rp 400 miliar se tahun yang mana uang tersebut masih
berputar dan beredar di lini swasta. Potensi rupiah sebanyak itu akan dihimpun
oleh pemerintah daerah untuk penguatan PAD Bukittinggi,” tutupnya.(*)
Komentar
Posting Komentar