Paradoks Demokrasi dalam Partai Ummat

 


Paradoks Demokrasi dalam Partai Ummat 

pengacarabukittinggi.blogspot.com , BUKITTINGGI - Sejumlah tokoh, termasuk salah satunya mantan politikus Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, mendeklarasikan Partai Ummat dan mengumumkan struktur partai secara daring pada Kamis (29/4/2021). Klaim mereka terdapat 99 orang yang menjadi pendiri partai dari 34 provinsi yang berkumpul di Yogyakarta. Amien Rais sendiri didapuk menjadi Ketua Majelis Syuro Partai Ummat. Mantan Ketua MPR ini membacakan deklarasi di hadapan para pendiri secara daring.

Menanggapi hal ini, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., mengapresiasi berdirinya Partai Ummat. “Partai Ummat menurut saya didirikan dengan tujuan yang mulia untuk menghindarkan anak bangsa dari  cara-cara non kontitusional dalam mengajukan aspirasi dan pendapat. Agar bisa terlaksana amanat Pasal 10 huruf b UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik di mana dengan adanya partai politik bertujuan untuk menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya di Bukittinggi pada Kamis (29/4/2021).

Menurut Riyan, semangat Partai Ummat untuk menjaga keutuhan NKRI jelas terlampir dalam paragraf terakhir teks deklarasi Partai Ummat yang dibacakan pada 29 April 2021 bertepatan dengan 17 Ramadan, yang diyakini sebagai hari turunnya Alquran ke bumi, yang berbunyi sebagai berikut“Kami yakin seluruh mekanisme demokrasi kita dan konstitusi kita lebih dari cukup untuk melakukan perbaikan kehidupan nasional, sehingga kita tidak perlu cara-cara ekstra parlementer dan cara-cara ekstra konstitusional.”

Paradoks Demokrasi dalam Partai Ummat

Riyan pun mengungkapkan memang Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan berkumpul (freedom of assembly) yang bertanggung jawab sebagaimana yang terlihat dalam deklarasi paragraf terakhir Partai Ummat. Dan bahkan dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo (2006) dijelaskan bahwa Partai politik merupakan sarana bagi warga Negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan Negara.

Meski dalam Kajian PPKHI Kota Bukittinggi, aroma dugaan oligarki tetap terasa dalam Partai Ummat. “Dengan menunjuk Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum Partai Ummat. Diketahui ia pula merupakan menantu dari Amien Rais. Ridho merupakan suami dari putri Amien Rais, Tasniem Fauzia Rais. Di sini ada paradoks demokrasi, di mana Partai Ummat terjebak dalam politik turun-temurun atau hereditary politics,” terangnya.

Politik turun-temurun ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Di masa Orde Baru, Soeharto telah mempraktikannya lebih nyata dengan melibatkan anak-anaknya: Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Hastuti (Tutut). Bahkan akademisi Belanda, Mark Bovens dan peneliti Universitas Leiden, Anchrit Wille, dalam Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy (2017) menulis: sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya dibuat demi menentang sistem politik turun-temurun. Golongan bangsawan yang sudah tua mulai digantikan dengan mereka yang punya kemampuan dan berasal dari perguruan tinggi.

Paradoks demokrasi terjadi ketika partai tidak lebih dari sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa secara modal dan turun temurun. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang memiliki garis keluarga dekat dan modal. Dengan demikian, partai politik justru menjadi paradoks demokratis, hal ini dikarenakan partai politik dikuasai oleh segelintir orang maupun seseorang yang tidak lain adalah pemilik sumber daya (resources) yang besar dan dari keluarga terdekat pendiri partai.

Strategi seperti ini berjalan baik untuk mantan presiden SBY, yang partainya, partai Demokrat, mula-mula dibiayai oleh kurang dari selusin oligarki (Winters, dalam Usman Hamid dan AE Priyono (eds.), 2014:219). Bahkan Guspardi Gaus berkomentar, "Karena ini menantu Pak Amien, masyarakat akan menilai apakah namanya ini oligarki atau partai dibentuk dalam sistem kerajaan dan sebagainya. Tentu masyarakat sudah cerdas, kita persilakan masyarakat menilai," kata Guspardi di CNN Indonesia, Kamis (29/4).

Bahaya Paradoks Demokrasi dalam Partai Politik

Paradoks demokrasi berakar dari oligarki yang ada di partai politik adalah musuh demokrasi. Oligarki partai politik membiarkan dominasi modal dan kedekatan keluarga dalam dunia partai politik sehingga modal dan keturunan terdekat dapat menguasai dan menginstrumentalisasi partai politik demi melayani kepentingan segelintir orang.

Glorifikasi terhadap modal mengakibatkan pendepakkan orang-orang yang tidak bermodal yang seharusnya diperjuangkan oleh partai politik. Partai politik yang dikuasai oleh para oligarki gagal total melaksanakan kaderisasi untuk melahirkan para pemimpin yang mampu menjaga kehidupan demokrasi, sehingga kita terjebak dengan politisi yang berjiwa korup dan anti-demokrasi. 

Solusi Menghadapi Paradoks Demokrasi

Patut diingat bahwa demokrasi digunakan secara luas bukan sekadar untuk menciptakan keramaian prosedural, melainkan juga demi perwujudan substansi yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat dalam berbagai bidang kehidupan bernegara. Kalau demokrasi hanya sampai pada aspek prosedural, pertanyaan tentang manfaat konkret demokrasi bagi rakyat akan selalu muncul. Demokrasi, secara paradoksal, seolah-olah justru menjauhkan kebijakan-kebijakan publik dari kepentingan publik. Ada demokrasi, namun tidak ada keterwakilan publik.

Salah satu solusinya adalah dengan mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-undang Partai Politik, serta menyelaraskannya dengan UU Pemilu, UU Pilkada dan UU MD3 sebagai upaya mereformasi partai politik. Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., mengatakan, “Salah satu poin yang perlu direvisi untuk menghindari paradoksal demokrasi adalah syarat pembentukan dan kepesertaan pemilu yang berat harus segera direvisi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Kondisi ini mengakibatkan partai politik dan parlemen saat ini hanya dikuasai kelompok tertentu atau oligarki,” sebutnya.

 "Untuk bisa mendirikan partai politik dan punya status badan hukum itu sangat sulit. Karena harus punya 100 persen kantor di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten kota, 50 persen kecamatan. Hanya partai-partai yang punya modal besar yang bisa memenuhi itu," jelasnya.

 “Selain itu untuk menghindari paradoksal demokrasi kita juga mendorong harus mendorong transparansi tata kelola keuangan partai. Langkah ini bertujuan untuk mencegah politik transaksional, sekaligus dapat menjadi informasi bagi publik terhadap orang-orang yang berpotensi memiliki kepentingan ekonomi. Dan juga merupakan amanat dari Pasal 36 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,” tutupnya.(*)

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

Berapa Lama Waktu dan Biaya yang Dibutuhkan saat Mengurus Cerai di Bukittinggi?

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah