Hal Penting dalam Isu Perempuan
Pemaknaan wanita dan perempuan secara berbeda tidak terlepas dari pengaruh feodal dan sistem patriakis yang sudah menjadi sejarah. Aktivis perempuan menolak kata wanita karena dalam etimologi Jawa, wanita berasal dari frasa wani ditoto yang berarti berani diatur. Kata wanita dimaknai berdasarkan pada sifat dasar wanita yang cenderung tunduk dan patuh pada lelaki sesuai dengan perkembangan budaya di tanah Jawa pada masa tersebut. Sementara itu menurut bahasa Sanskerta, kata perempuan muncul dari kata per + empu + an. Per memiliki arti makhluk dan Empu berarti mulia, tuan, atau mahir. Dengan demikian perempuan dimaknai sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan. Jadi, secara etimologis, perempuan dapat dikatakan sebagai seseorang yang memiliki penuh tubuhnya dan dia menjadi tuan atas dirinya sendiri. Berbeda halnya dengan wanita yang memang memasrahkan dirinya pada kaum lelaki.
Indonesia sebagai negara yang turut menyepakati Suistainable Development Goals (SDGs) 2030, semestinya menghormati hak-hak perempuan, sebagai komitmen dalam menjalankan program SDGs, goal kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Desakan perempuan kepada pemerintah masih mendesak pemerintah untuk mewujudkan: kesetaraan gender, memenuhi hak-hak perempuan, dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan (termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan). Setiap tanggal 8 Maret Perempuan Indonesia selalu mereview sejauh mana pergerakan kaum perempuan di negara Indonesia dari berbagai bidang seperti bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, kesehatan, media dan teknologi, hukum dan kebijakan, ruang hidup dan agraria, kekerasan seksual, identitas dan ekspresi yang masih kurang diperhatikan di Indonesia.
Isu kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Selain hal tersebut, kesetaraan gender juga meliputi penghapusan dan diskriminasi serta ketidakadilan struktural, baik bagi laki-laki maupun perempuan.[1] Keadilan dan kesetaraan gender merupakan bagian dari hak asasi manusia yang kodrati. Sehingga ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan salah satu wujud pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh hukum negara. Perubahan dinamika dari dominasi kuasa menuju kesetaraan ini merupakan buah dari pertemuan pemikiran untuk memperjuangkan hak dari perempuan.
Kultur patriaki mengajarkan pada kita, bahwa menjadi perempuan adalah hal yang sungguh berat. Terlahir sebagai perempuan berarti harus siap menerima banyak penderitaan. Awetnya budaya patriaki di Indonesia membentuk konstruksi sosial-budaya yang sering menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua setelah laki-laki. Tujuan utama dari gerakan feminisme adalah ingin menghilangkan sistem patriaki, karena sistem ini dinilai lebih memberikan keuntungan terhadap laki-laki daripada perempuan.
Isu peran ganda perempuan, dalam kultur patriaki, seorang wanita akan cenderung memiliki prestasi kerja yang lebih rendah dibandingkan pria, karena seorang pria akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan karirnya. Sedangkan wanita harus merasa puas dengan prestasi yang biasa saja asal keluarga tetap dalam kondisi stabil. Tak peduli seberapa keras perempuan bekerja, ia harus tetap mengurus rumah karena itu bukan tugas laki-laki.
Isu aturan yang melindungi perempuan. Beberapa tahun belakangan, beberapa negara mendapat tuntutan untuk segera membentuk undang-undang baru ataupun merevisi undang-undang yang dirasa diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual. Negara yang akhirnya berhasil merevisi undang-undangnya, setelah beberapa tahun, adalah Tunisia, Yordania, dan Lebanon. Ketiga negara ini, pada tahun 2017 lalu, sama-sama merevisi undang-undang yang diskriminatif terhadap korban, yaitu jika sebelumnya ada pasal yang mengampuni pelaku pemerkosa jika menikahi korban, pasal tersebut dihapuskan dan diganti dengan memberikan hukuman kepada pelaku. Terbaru adalah di Swedia, pada Juli 2018, Swedia memberlakukan undang-undang baru, yaitu seks tanpa persetujuan merupakan pemerkosaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, jaksa penuntut tidak boleh meminta bukti berupa kekerasan atau mempertanyakan kondisi korban dalam upaya membuktikan bentuk pemerkosaan tersebut.
Ada kesadaran melaporkan kekerasan seksual di negara kita tidak didukung dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku dan memberi keadilan terhadap korban. RUU PKS merupakan ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP. RUU PKS mengisi kekosongan hukum khusus pada kasus kekerasan seksual. Banyak kasus kekerasan seksual tidak dapat diproses hukum karena KUHP hanya mengatur tentang perkosaan atau pencabulan.
RUU PKS sama dengan semua hukum di Indonesia, harus menganut prinsip non diskriminasi. RUU PKS harus dapat melindungi seluruh warga negara tanpa memandang kelas sosial-ekonomi, agama, ras, suku bangsa, jenis kelamin, dan gender. RUU PKS fokus pada perlindungan dan pemulihan korban. Siapapun korban kekerasan seksual, tetap harus dilindungi dan pelakunya tetap harus dihukum. Dengan RUU PKS, siapa saja yang mengalami pelecehan seksual berhak mendapatkan perlindungan dan pemulihan. RUU PKS ini pro keadilan untuk korban.
Dalam bidang hukum dan kebijakan perempuan Indonesia menuntut pemerintah melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang – undangan agar inovatif bagi perempuan baik di level nasional maupun daerah untuk merevisi atau mencabut serta membuat kebijakan publik yang mengakui dan melindungi untuk menjamin hak asasi manusia setiap warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) tanpa diskriminasi berlandaskan prinsip di setiap level peraturan maupun penetapan kebijakan publik.
Instrumen hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi oleh negara menjadi jembatan guna menciptakan persamaan hak dan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Adapun instrumen tersebut yaitu:
1. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (1948)/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:
Setiap orang memiliki hak yang sama di faadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa adanya diskrirninasi (Pasal 7);
2. Pasal 26 International Convenant On Civil And Political Rights (1966)/Kovenan Hak Sipil dan Politik:
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul Kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
3. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) (1979)/Konvensi Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan;
4. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
5. Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Beberapa instrumen hukum tersebut seharusnya sudah mampu untuk menghapuskan ketidakadilan gender yang sering dialami oleh kaum perempuan. Masalah hukum dan kebijakan pemerintah dalam isu menyikapi isu perempuan ini, jika tak disikapi segera akan sangat merugikan secara psikologi, selain hal tersebut juga merupakan tindak pidana. Sehingga untuk menyikapi isu perempuan diperlukan sistem yang mendukung keadilan perempuan. Mengacu pada teori triangular sistem yang dikemukakan oleh Lawrance M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi hukum, serta budaya hukum.
Guna mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan diperlukan, pertama, struktur hukum, yakni aparat penegak hukum yang tanggap pada isu perempuan. Kedua, substansi hukum, diperlukan instrumen hukum yang ramah dan tak diskriminatif pada perempuan. Dan yang ketiga, budaya hukum, paradigma masyarakat berubah. Perempuan bukan lagi makhluk yang lemah dan cenderung dibawah laki-laki. Akan tetapi meraeka setara bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan dapat bekerja lebih baik dengan perasaan dan ketelitiannya.
Sedangkan desakan perempuan di bidang ketenagakerjaan dan bidang lainnya adalah sebagai berikut:
- Di tingkat internasional mendesak pemerintah untuk berperan aktif agar bisa segera disepakatinya Konvensi ILO tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja . Serta memastikan pelaksanaan UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
- Di tingkat nasional mendesak negara mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan. Memastikan pelaksanaan cuti haid, cuti melahirkan, dan penyediaan fasilitas ruang laktasi layak sesuai dengan amanah UU Ketenagakerjaan.
Di bidang ketenagakerjaan sudah ada Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans) No. SE/03/MEN/IV/2011 yang merupakan Pedoman pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja.
Di bidang pendidikan
- Mendesak pemerintah untuk menyediakan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif sesuai dengan Rencana Pembangunan Nasional yang dimandatkan oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
- Mendesak pemerintah menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif untuk semua dan sesuai dengan tingkat usia serta aksesibel bagi semua ragam disabilitas.
Di bidang kesehatan
- Mendesak pemerintah mengakui hak kesehatan reproduksi namun juga hak seksual bagi seluruh warga negara tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual dan ekspresi gender, status perkawinan, agama, ras, wilayah geografis, dan latar belakang ekonomi.
- Supaya pemerintah menjamin penyediaan layanan dan fasilitas kesehatan yang merata, adil gender, dan berpihak pada yang lemah dan dilemahkan.
Di bidang media dan teknologi
- Mendesak pemerintah membangun sistem dan kebijakan yang mencegah dan menangani meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis siber.
- Mendesak perusahaan media dan lembaga profesi jurnalis dalam memproduksi isi pemberitaan yang ramah terhadap perempuan, adil gender, dan berpihak kepada korban.
Di bidang ruang hidup dan agraria
- Mendesak pemerintah menghentikan proyek infrastruktur yang merampas sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sehingga berakibat pada munculnya konflik agrarian karena melibatkan militer, dengan menggunakan kekerasan serta adanya kriminalisasi kepada petani dan nelayan.
- Mendesak pemerintah merealisasikan kebijakan terkait sumber daya alam dan program pembangunan yang bertumpu pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam prosesnya.
Di bidang masalah kekerasan seksual
- Mendesak pemerintah melindungi warga negara khususnya perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual melalui pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual.
- Mendorong legislatif untuk mengamandemen UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan uji materi kenaikan batas usia perkawinan pada Desember 2018 dalam upaya menghapuskan perkawinan anak.
Di bidang masalah identitas dan ekspresi
- Mendesak pemerintah berhenti menjadi sponsor pengekangan kebebasan berekspresi perempuan dengan beragam identitas serta berperan aktif dalam menghentikan politisasi dan komodifikasi tubuh perempuan, keberagaman orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender baik untuk politik praktis maupun kepentingan kepercayaan agama tertentu sesuai dengan amanah Konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah diratifikasi.
Isu IWD yang mana awalnya berasal dari tragedi kekerasan yang dialami sejumlah wanita di New York, Amerika Serikat pada 8 Maret 1857. Pada tanggal 8 Maret 1908 sekitar lima belas ribu buruh perempuan di kota yang sama kembali melakukan unjuk rasa untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek dan kebebasan dalam berpendapat. Gerakan ini juga akhirnya membuat Partai Sosialis Amerika juga mencanangkan hari perempuan pada hari terakhir bulan Februari.
Pada tahun 1910-20an berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak dalam menetapkan hari perempuan yang harus dimaknai dengan baik. Bahkan pada kurun waktu 1913-1914 di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional digunakan sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I atau sebagai aksi solidaritas sesama perempuan.
Dulu IWD sempat terhenti, akhirnya berhasil dihidupkan lagi pada era 60-an yang berbarengan dengan bangkitnya feminisme. Pada tahun 1974, untuk pertama kalinya PBB memperingati Hari Perempuan Internasional dan menetapkannya pada 8 Maret. Peringatan IWD dimaksudkan sebagai bentuk memperingati atas pencapaian perjuangan perempuan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti halnya kaum laki-laki. Dilihat dari keberlangsungan perjuangan gerakan perempuan, Tanggal 8 Maret menjadi penting karena merupakan suatu titik tolak, titik beranjak perempuan mengorganisasi diri dan memperjuangkan hak-haknya. Delapan Maret adalah hari perempuan bangkit dan berkesadaran serta membangun organisasi untuk terus bergerak. IWD adalah milik perempuan di seluruh dunia, peringatan untuk mengingat perjuangan di masa lalu dan melanjutkannya di masa depan.
Catatan Kaki:
1. Ristina Yudhanti, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta: Thafa Media, 2014, hal. 47.
Indonesia sebagai negara yang turut menyepakati Suistainable Development Goals (SDGs) 2030, semestinya menghormati hak-hak perempuan, sebagai komitmen dalam menjalankan program SDGs, goal kelima, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Desakan perempuan kepada pemerintah masih mendesak pemerintah untuk mewujudkan: kesetaraan gender, memenuhi hak-hak perempuan, dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan (termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan). Setiap tanggal 8 Maret Perempuan Indonesia selalu mereview sejauh mana pergerakan kaum perempuan di negara Indonesia dari berbagai bidang seperti bidang ketenagakerjaan, bidang pendidikan, kesehatan, media dan teknologi, hukum dan kebijakan, ruang hidup dan agraria, kekerasan seksual, identitas dan ekspresi yang masih kurang diperhatikan di Indonesia.
Isu kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Selain hal tersebut, kesetaraan gender juga meliputi penghapusan dan diskriminasi serta ketidakadilan struktural, baik bagi laki-laki maupun perempuan.[1] Keadilan dan kesetaraan gender merupakan bagian dari hak asasi manusia yang kodrati. Sehingga ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan salah satu wujud pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi oleh hukum negara. Perubahan dinamika dari dominasi kuasa menuju kesetaraan ini merupakan buah dari pertemuan pemikiran untuk memperjuangkan hak dari perempuan.
Kultur patriaki mengajarkan pada kita, bahwa menjadi perempuan adalah hal yang sungguh berat. Terlahir sebagai perempuan berarti harus siap menerima banyak penderitaan. Awetnya budaya patriaki di Indonesia membentuk konstruksi sosial-budaya yang sering menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua setelah laki-laki. Tujuan utama dari gerakan feminisme adalah ingin menghilangkan sistem patriaki, karena sistem ini dinilai lebih memberikan keuntungan terhadap laki-laki daripada perempuan.
Isu peran ganda perempuan, dalam kultur patriaki, seorang wanita akan cenderung memiliki prestasi kerja yang lebih rendah dibandingkan pria, karena seorang pria akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan karirnya. Sedangkan wanita harus merasa puas dengan prestasi yang biasa saja asal keluarga tetap dalam kondisi stabil. Tak peduli seberapa keras perempuan bekerja, ia harus tetap mengurus rumah karena itu bukan tugas laki-laki.
Isu aturan yang melindungi perempuan. Beberapa tahun belakangan, beberapa negara mendapat tuntutan untuk segera membentuk undang-undang baru ataupun merevisi undang-undang yang dirasa diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual. Negara yang akhirnya berhasil merevisi undang-undangnya, setelah beberapa tahun, adalah Tunisia, Yordania, dan Lebanon. Ketiga negara ini, pada tahun 2017 lalu, sama-sama merevisi undang-undang yang diskriminatif terhadap korban, yaitu jika sebelumnya ada pasal yang mengampuni pelaku pemerkosa jika menikahi korban, pasal tersebut dihapuskan dan diganti dengan memberikan hukuman kepada pelaku. Terbaru adalah di Swedia, pada Juli 2018, Swedia memberlakukan undang-undang baru, yaitu seks tanpa persetujuan merupakan pemerkosaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, jaksa penuntut tidak boleh meminta bukti berupa kekerasan atau mempertanyakan kondisi korban dalam upaya membuktikan bentuk pemerkosaan tersebut.
RUU PKS sama dengan semua hukum di Indonesia, harus menganut prinsip non diskriminasi. RUU PKS harus dapat melindungi seluruh warga negara tanpa memandang kelas sosial-ekonomi, agama, ras, suku bangsa, jenis kelamin, dan gender. RUU PKS fokus pada perlindungan dan pemulihan korban. Siapapun korban kekerasan seksual, tetap harus dilindungi dan pelakunya tetap harus dihukum. Dengan RUU PKS, siapa saja yang mengalami pelecehan seksual berhak mendapatkan perlindungan dan pemulihan. RUU PKS ini pro keadilan untuk korban.
Dalam bidang hukum dan kebijakan perempuan Indonesia menuntut pemerintah melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang – undangan agar inovatif bagi perempuan baik di level nasional maupun daerah untuk merevisi atau mencabut serta membuat kebijakan publik yang mengakui dan melindungi untuk menjamin hak asasi manusia setiap warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) tanpa diskriminasi berlandaskan prinsip di setiap level peraturan maupun penetapan kebijakan publik.
Instrumen hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi oleh negara menjadi jembatan guna menciptakan persamaan hak dan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Adapun instrumen tersebut yaitu:
1. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights (1948)/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:
Setiap orang memiliki hak yang sama di faadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa adanya diskrirninasi (Pasal 7);
2. Pasal 26 International Convenant On Civil And Political Rights (1966)/Kovenan Hak Sipil dan Politik:
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul Kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
3. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) (1979)/Konvensi Hak Asasi Internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan;
4. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
5. Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Beberapa instrumen hukum tersebut seharusnya sudah mampu untuk menghapuskan ketidakadilan gender yang sering dialami oleh kaum perempuan. Masalah hukum dan kebijakan pemerintah dalam isu menyikapi isu perempuan ini, jika tak disikapi segera akan sangat merugikan secara psikologi, selain hal tersebut juga merupakan tindak pidana. Sehingga untuk menyikapi isu perempuan diperlukan sistem yang mendukung keadilan perempuan. Mengacu pada teori triangular sistem yang dikemukakan oleh Lawrance M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi hukum, serta budaya hukum.
Guna mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan diperlukan, pertama, struktur hukum, yakni aparat penegak hukum yang tanggap pada isu perempuan. Kedua, substansi hukum, diperlukan instrumen hukum yang ramah dan tak diskriminatif pada perempuan. Dan yang ketiga, budaya hukum, paradigma masyarakat berubah. Perempuan bukan lagi makhluk yang lemah dan cenderung dibawah laki-laki. Akan tetapi meraeka setara bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan dapat bekerja lebih baik dengan perasaan dan ketelitiannya.
Sedangkan desakan perempuan di bidang ketenagakerjaan dan bidang lainnya adalah sebagai berikut:
- Di tingkat internasional mendesak pemerintah untuk berperan aktif agar bisa segera disepakatinya Konvensi ILO tentang Penghapusan dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender di Tempat Kerja . Serta memastikan pelaksanaan UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
- Di tingkat nasional mendesak negara mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Permenaker Perlindungan Pekerja Rumahan. Memastikan pelaksanaan cuti haid, cuti melahirkan, dan penyediaan fasilitas ruang laktasi layak sesuai dengan amanah UU Ketenagakerjaan.
Di bidang ketenagakerjaan sudah ada Surat Edaran Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemenakertrans) No. SE/03/MEN/IV/2011 yang merupakan Pedoman pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja.
Di bidang pendidikan
- Mendesak pemerintah untuk menyediakan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif sesuai dengan Rencana Pembangunan Nasional yang dimandatkan oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
- Mendesak pemerintah menyediakan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif untuk semua dan sesuai dengan tingkat usia serta aksesibel bagi semua ragam disabilitas.
Di bidang kesehatan
- Mendesak pemerintah mengakui hak kesehatan reproduksi namun juga hak seksual bagi seluruh warga negara tanpa memandang usia, jenis kelamin, orientasi seksual dan ekspresi gender, status perkawinan, agama, ras, wilayah geografis, dan latar belakang ekonomi.
- Supaya pemerintah menjamin penyediaan layanan dan fasilitas kesehatan yang merata, adil gender, dan berpihak pada yang lemah dan dilemahkan.
Di bidang media dan teknologi
- Mendesak pemerintah membangun sistem dan kebijakan yang mencegah dan menangani meluasnya kekerasan terhadap perempuan berbasis siber.
- Mendesak perusahaan media dan lembaga profesi jurnalis dalam memproduksi isi pemberitaan yang ramah terhadap perempuan, adil gender, dan berpihak kepada korban.
Di bidang ruang hidup dan agraria
- Mendesak pemerintah menghentikan proyek infrastruktur yang merampas sumber-sumber kehidupan dan ruang hidup masyarakat yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sehingga berakibat pada munculnya konflik agrarian karena melibatkan militer, dengan menggunakan kekerasan serta adanya kriminalisasi kepada petani dan nelayan.
- Mendesak pemerintah merealisasikan kebijakan terkait sumber daya alam dan program pembangunan yang bertumpu pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat dengan memastikan keterlibatan perempuan dalam prosesnya.
Di bidang masalah kekerasan seksual
- Mendesak pemerintah melindungi warga negara khususnya perempuan dan anak dari tindakan kekerasan seksual serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual melalui pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual.
- Mendorong legislatif untuk mengamandemen UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan uji materi kenaikan batas usia perkawinan pada Desember 2018 dalam upaya menghapuskan perkawinan anak.
Di bidang masalah identitas dan ekspresi
- Mendesak pemerintah berhenti menjadi sponsor pengekangan kebebasan berekspresi perempuan dengan beragam identitas serta berperan aktif dalam menghentikan politisasi dan komodifikasi tubuh perempuan, keberagaman orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender baik untuk politik praktis maupun kepentingan kepercayaan agama tertentu sesuai dengan amanah Konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah diratifikasi.
Isu IWD yang mana awalnya berasal dari tragedi kekerasan yang dialami sejumlah wanita di New York, Amerika Serikat pada 8 Maret 1857. Pada tanggal 8 Maret 1908 sekitar lima belas ribu buruh perempuan di kota yang sama kembali melakukan unjuk rasa untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek dan kebebasan dalam berpendapat. Gerakan ini juga akhirnya membuat Partai Sosialis Amerika juga mencanangkan hari perempuan pada hari terakhir bulan Februari.
Pada tahun 1910-20an berbagai upaya dilakukan oleh berbagai pihak dalam menetapkan hari perempuan yang harus dimaknai dengan baik. Bahkan pada kurun waktu 1913-1914 di sejumlah negara Eropa, Hari Perempuan Internasional digunakan sebagai gerakan penolakan Perang Dunia I atau sebagai aksi solidaritas sesama perempuan.
Dulu IWD sempat terhenti, akhirnya berhasil dihidupkan lagi pada era 60-an yang berbarengan dengan bangkitnya feminisme. Pada tahun 1974, untuk pertama kalinya PBB memperingati Hari Perempuan Internasional dan menetapkannya pada 8 Maret. Peringatan IWD dimaksudkan sebagai bentuk memperingati atas pencapaian perjuangan perempuan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti halnya kaum laki-laki. Dilihat dari keberlangsungan perjuangan gerakan perempuan, Tanggal 8 Maret menjadi penting karena merupakan suatu titik tolak, titik beranjak perempuan mengorganisasi diri dan memperjuangkan hak-haknya. Delapan Maret adalah hari perempuan bangkit dan berkesadaran serta membangun organisasi untuk terus bergerak. IWD adalah milik perempuan di seluruh dunia, peringatan untuk mengingat perjuangan di masa lalu dan melanjutkannya di masa depan.
Catatan Kaki:
1. Ristina Yudhanti, Perempuan dalam Pusaran Hukum, Yogyakarta: Thafa Media, 2014, hal. 47.
Komentar
Posting Komentar