Mencegah Klaster Covid-19 di Pilkada Sumatera Barat
Mencegah Klaster Covid-19 di Pilkada Sumatera Barat
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
(Alumni Magister Hukum Universitas Pancasila)
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tengah pandemi Covid-19
yang dilaksanakan secara serentak di beberapa daerah di Indonesia berpotensi
timbulnya klaster baru Covid-19 atau klaster Pilkada. Kabar terbaru Wakil
Bupati Agam Trinda Farhan Satria dikonfirmasi positif tertular COVID-19. Hal
itu diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Diagnostik dan Riset
Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Dalam
keterangan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Wakil Bupati merupakan
orang tanpa gejala (7/9/2020). Dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat ada
sekitar 687 bakal pasangan calon (bapaslon) yang mendaftar ke KPU hingga Sabtu
(6/9/2020) pukul 24.00 WIB. Dari 687 bapaslon, 37 bakal calon di 21 provinsi
terkonfirmasi positif COVID-19. Serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI
menemukan ada sebanyak 243 pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, saat proses
pendaftaran bakal pasangan calon pemilihan kepala daerah Pilkada 2020. Bawaslu
memastikan akan memberikan sanksi administratif terkait pelanggaran tersebut.
Kita melihat tahapan pendaftaran pasangan calon kepala
daerah di 271 daerah seluruh Indonesia banyak terjadi pelanggaran penerapan
protokol kesehatan penangggulangan COVID-19. Pelanggaran tersebut terutama
terkait pengerahan massa di sejumlah daerah tanpa mengindahkan protokol
kesehatan seperti penggunaan masker, menjaga jarak dan ketersediaan cucui
tangan.
Mematuhi Aturan
Pilkada di Era Covid-19
Bapaslon seharusnya mematuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU (PKPU)
Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak
Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19. Pasal 49 ayat 3 PKPU tersebut
menyatakan, "KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota menyampaikan tata cara pendaftaran bakal pasangan calon, dengan
ketentuan hanya dihadiri oleh: a. Ketua dan Sekretaris atau sebutan lain Partai
Politik dan/atau gabungan Partai Politik pengusul dan bakal pasangan calon;
dan/atau b. Bakal pasangan calon perseorangan". Serta dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020, kampanye rapat umum secara
tatap muka dibatasi hanya untuk 100 orang. Namun kandidat dapat menambah audiens secara virtual dengan menyiarkan langsung kampanye tersebut. Namun, pihak
paslon masih menggelar konvoi.
Dengan merujuk Pasal 11 ayat 1 PKPU 6/2020 tentang pedoman
Pilkada 2020, "Seluruh pihak yang
terlibat wajib melaksanakan protokol kesehatan pencegahan COVID-19
sekurang-kurangnya menggunakan masker yang menutup hidung dan mulut hingga dagu."
Lalu Pasal 11 ayat 2 berbunyi, "Bagi
pihak yang melanggar protokol kesehatan pencegahan COVID-19 maka penyelenggara
pemilu (KPU Prov/Kab/Kota, PPK dan PPS) memberi peringatan kepada pihak yang
abai dalam penerapan protokol kesehatan pencegahan COVID-19." Namun PKPU
6/2020 tersebut tidak ada ketentuan sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan
protokol kesehatan pencegahan COVID-19 ini.
Jika melihat pelanggaran protokol kesehatan pencegahan yang
eksesif di tengah masyarakat ini, pemerintah harus melakukan langkah-langkah
konkret untuk menertibkan protokol kesehatan ini. Risiko pelaksanaan pilkada di
masa pandemi ini harus diwaspadai. Tahapan pendaftaran paslon selama beberapa
hari ini menampilkan sisi paradoksal yang cukup mengkhawatirkan. Padahal,
tahapan masih cukup panjang seperti kampanye, sosialisasi hingga hari H
pencoblosan. Sebagaimana kita ketahui, Pada 4-6 September 2020, KPU akan resmi
membuka tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah. Setelah itu, KPU akan
verifikasi data bakal calon yang mendaftar. KPU akan menetapkan pasangan calon
kepala daerah yang akan berlaga 23 September 2020. Tahapan kampanye akan
dimulai pada 26 September hingga 5 Desember atau sebanyak 71 hari. Masa tenang
dan pembersihan alat peraga sendiri akan dilakukan pada 6-8 Desember 2019.
Pemungutan suara sekaligus penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS)
dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
Bawaslu mengklaim belum bisa melakukan penindakan. Bawaslu baru
bisa menindaklanjuti usai paslon ditetapkan pada Rabu (23/9) sebagaimana
dijelaskan di atas. Kita pun berharap aparat penegak hukum bisa menindak para
kandidat yang melanggar. Penyelenggara pemilu dan pemerintah janganlah saling
lempar tanggung jawab usai banyak bakal pasangan calon Pilkada Serentak 2020
melakukan konvoi tanpa mengindahkan protokol Covid-19 saat mendaftar ke KPU,
apalagi sudah ada 37 bakal calon di 21 provinsi terkonfirmasi positif COVID-19.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) seharusnya mengingatkan
para kandidat untuk tak melakukan arak-arakan saat pendaftaran. Jika ada
pelanggaran, Kemendagri melemparnya ke penyelenggara pemilu. Jika terjadi
pelanggaraan, tentu KPU atau Bawaslu sesuai dengan kewenangan masing-masing
akan mengambil langkah-langkah penegakan disiplin sesuai aturan mengenai
penanganan pencegahan dan penindakan terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi
melanggar protokol kesehatan menjadi kewenangan Bawaslu. Arak-arakan merupakan
pelanggaran protokol kesehatan. Kepolisian dan Satpol PP pun juga berwenang
melakukan pembubaran dan penindakan.
Dan ketika telah ditetapkan paslon pada 23 September 2020. Mengenai
sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, ada sanksi administratif yang diawali
rekomendasi dari Bawaslu untuk ditindaklanjuti KPU. Untuk sanksi pidana, UU
Nomor 10/2016 tentang Pilkada tidak mengatur sanksi pidana bagi pelanggar
protokol kesehatan, namun Bawaslu punya kewenangan untuk meneruskan terkait
pelanggaran yang diatur di luar UU Pilkada. Terkait pidana menjadi ranah
penyidik kepolisian bersama kejaksaan untuk menindaklanjuti pelanggaran di luar
UU Pilkada.
Upaya Mencegah Klaster Covid-19 di Pilkada Sumatera Barat
Jadi, ketika protokol kesehatan dilanggar, seharusnya KPU
dan Bawaslu tidak segan meminta bantuan dari Satpol PP untuk menjaga
ketertiban. Termasuk meminta bantuan dari TNI/Polri yang ditugaskan menegakkan
protokol kesehatan di ruang publik. Dan jika kita berkaca pada pemilu di
Amerika Serikat yang juga diselenggarakan di tengah pandemi. Untuk
meminimalisir penyebaran virus, pemberian surat suara menggunakan jasa kantor
pos.
Dan pelajaran dari PKPU yang tak mencantumkan sanksi yang
tegas, seharus penyelenggara pemilu, khususnya KPU Sumatera Barat dapat
mengusulkan kepada KPU Pusat untuk dapat segera merancang PKPU baru, berikut
dengan sanksi yang tegas, yang menyatakan: "Apabila
salah satu Paslon melanggar protokol kesehatan dibuatlah sanksi tegas yaitu
tidak dapat mengikuti pencalonan.” Untuk mengantisipasinya protokol
kesehatan perlu diperketat. Dan jika perlu bagi yang tak memakai masker
dilarang memilih. Minimal diadakan sanksi yang tegas untuk membuat efek jera
kepada peserta pilkada.
Selain itu, disaat pemungutan suara digelar TPS harus
dipisahkan antara TPS zona merah dan TPS zona hijau untuk menutup kemungkinan
adanya kasus baru. Jika perlu dirumah sakit dibuat bilik TPS dikhususkan untuk
pasien yang sedang menjalani masa karantina. Harapannya, ada aturan KPU terkait
pengetatan sistem untuk langkah preventif terhadap penyebaran Covid-19.
Pasalnya ini bisa memicu klaster baru atau dengan kata lain klaster pilkada di
Sumatera Barat.
Komentar
Posting Komentar