Pilkada Serentak 2020 dan Kekhawatiran terhadap Netralitas Aparatur Sipil Negara di Sumatera Barat
Pilkada Serentak 2020 dan Kekhawatiran terhadap Netralitas Aparatur Sipil
Negara di Sumatera Barat
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Ketua Perkumpulan Pengacara dan
Konsultan Hukum Indonesia Kota Bukittinggi)
Belum berakhir ingatan kita saat bakaba.co pada Agustus 2020 lalu mengunggah berita yang
memiriskan hati kita sebagai pemilih di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat yang
mana beredar rekaman diduga suara kegiatan rapat yang ditengarai dilakukan para
pejabat teras kota Bukittinggi. Rekaman rapat berdurasi 19 menit 30 detik. Para
pejabat kota itu membicarakan strategi pemenangan dan penghimpunan KTP terkait
kebutuhan petahana yang akan kembali maju pada pilkada Walikota Bukittinggi yang akan dihelat pemilihannya pada Desember 2020 nanti. Lalu sebagai upaya untuk memperjuangkan keadilannya, bakal pasangan calon
walikota independen Martias Tanjung mengajukan laporan kepada Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) Kota Bukittinggi, ia merasa dicurangi secara masif dan
terstruktur. Bahkan ia pun telah mengantongi sejumlah bukti rekaman serta bukti lain
dan telah melampirkannya dalam laporan tersebut.
Kekhawatiran kita terhadap ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN)
semakin membuncah ketika muncul kembali dugaan ketidaknetralan pejabat negara
berlanjut, yaitu saat pengurus lembaga pemerintah nonstruktural, yakni lembaga Badan
Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Bukittinggi YR yang menjadi tim sukses
pasangan Calon Walikota Bukittinggi: R – S dilaporkan ke Bawaslu
Bukittinggi. Alasan pelaporan, aturan Baznas melarang pengurus ikut politik
praktis, dan tidak boleh jadi anggota partai. Ketentuan itu ada di Peraturan
Baznas Nomor 1 tahun 2019 pada BAB II tentang Tata Cara Pengangkatan, Pasal 4
yang menyebutkan: pengurus Baznas tidak terlibat politik praktis serta tidak
menjadi anggota partai politik. Muhammad Ridha selaku Sekretaris DPD PAN Bukittinggi yang diwawancara bakaba.co, Selasa, 6 Oktober 2020 mengatakan bahwa YR adalah bagian dari Partai Amanat Nasional dengan SK DPD PAN Bukittinggi bernomor: PAN/A/Kppts/K-S/017/IX/2019 YR didapuk sebagai Ketua Bidang Dakwah dan Keagamaan DPD PAN Bukittinggi.
Tindakan ASN dan pejabat lembaga pemerintah nonstruktural di Bukittinggi, Sumatera Barat ini sebenarnya tidak perlu
membuat kita terkejut. Karena jika kita mengacu pada data Indeks Kerawanan
Pilkada (IKP) yang dirilis oleh Bawaslu RI ini yang menyatakan ada 10 daerah di
Indonesia yang memiliki tingkat kerawanan paling tinggi ketidaknetralan ASN . Dan
ada dua daerah di Sumatera Barat yang termasuk 10 besar nasional daerah dengan IKP untuk
kategori netralitas ASN, yaitu Sijunjung dan Agam. Dan yang terbaru ditemukan
dugaan demi dugaan ketidaknetralan ASN serta pejabat kota di Kota Bung Hatta
yang ia pernah berpesan pada kita semua bahwa: “Tak ada harta pusaka yang
sama berharganya dengan kejujuran." ASN dan pejabat teras kota kecil ini mengabaikan sumpah jabatan, pesan founding father bangsa serta amanat rakyat agar terciptanya pemilu yang bersih.
Pentingnya netralitas ASN ini karena netralitas termasuk ke dalam salah satu dari lima
indikator dominan sub dimensi kerawanan Pemilu dalam Pilkada Serentak 2020 yang akan dihelat dalam hitungan 61 hari ke depan. Apalagi jika kita melihat data tentang netralitas ini dari Bawaslu RI yang telah menerima 1.300 laporan masyarakat tentang pelanggaran di dalam
tahapan pelaksanaan Pilkada 2020. Sebanyak 600 di antaranya terkait dengan
netralitas ASN. Dan netralitas adalah salah satu faktor penentu kualitas
demokrasi dan kontestasi dalam pemilihan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang ASN juga disebut penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN harus
berdasarkan pada asas netralitas. Netralitas merupakan prinsip, nilai dasar,
kode etik dan kode perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari ASN.
Kita tetap berharap pada Pilkada Serentak 2020 di Sumatera Barat meski Bawaslu Sumatera Barat mencatat, selama proses tahapan pilkada 2020 telah terjadi 19 pelanggaran yang dilakukan oleh ASN di Sumatera Barat. Pelanggaran netralitas ASN tersebut diantaranya, terdapat 1 kasus di tingkat provinsi Sumbar, 1 kasus di Tanah Datar, 1 Pasaman Barat, 2 Pesisir Selatan, 4 Padang Pariaman, 2 Kabupaten Solok, 2 Kabupaten Pasaman, 1 Kabupaten Limapuluh Kota, 1 Kabupaten Agam, 2 Kota Solok, dan 2 dari Kabupaten Sijunjung.
Semoga tidak ada lagi kita menemui pelanggaran netralitas ASN dan pejabat negara, seperti memberikan dukungan kepada pasangan calon di media sosial atau media massa, melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik. Selain itu turut menyosialisasikan bakal calon, menghadiri kegiatan yang menguntungkan bakal calon, mendeklarasikan diri sebagai bakal calon, mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung bakal calon, dan melakukan pergantian pejabat dalam waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon.
Karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya selaku pelayan publik, ASN
harus bersikap adil, tidak berpihak, dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kepentingan siapapun, baik pribadi, kelompok atau golongan. Apalagi, sudah ada
Surat Keputusan Bersama (SKB) lima institusi negara, yaitu Kementerian PAN dan
RB, Kemendagri, BKN, dan KASN tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Aparatur
Sipil Negara (ASN) untuk Pilkada Serentak 2020. SKB ini bertujuan untuk
menciptakan penyelenggaraan Pilkada 2020 yang netral, objektif, dan akuntabel
khususnya terkait pengawasan netralitas ASN. ASN harus saiyo kato jo pabuatan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2010 tentang disiplin, dimana ASN tidak boleh
berpolitik praktis. Untuk itu seharusnya netralitas serta profesionalitas adalah harga mati.
ASN harus menjadi contoh agar masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan
baik. Jika ASN terbukti melakukan hal demikian maka ASN tersebut akan dikenakan
sanksi, karena ada sanksi dalam undang-undang pemilu No. 7 tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 terhadap ASN yang melanggar netralitas atau melakukan
keberpihakan.
Sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dan merupakan pengawas pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020. Bawaslu RI dan Bawaslu di daerah Sumatera Barat tidak boleh ragu menangani masalah ketidaknetralan ASN ini sesuai dengan penanganan pelanggaran pemilu berdasarkan Perbawaslu Nomor 4 tahun 2020. Apalagi kewenangan Bawaslu dalam Undang-Undang Pemilu semakin diperkuat. Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menegaskan, Bawaslu bukan sekadar sebagai lembaga pengawasan pemilu saja, akan tetapi dapat berperan menjalankan fungsi-fungsi peradilan dalam melakukan penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu di tingkat Bawaslu Provinsi dan Bawaslu RI. Dan yang lebih dahsyat lagi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu, Bawaslu diberi wewenang untuk dapat memutus laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu kategori terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) terhadap calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Jadi, Bawaslu yang telah hadir selama 12 tahun untuk mengawasi serta
menegakkan keadilan pemilihan di Indonesia. Puncak reformasi kewenangan serta
status kelembagaan Bawaslu terjadi tahun 2017 dengan terbitnya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dan untuk kewenangan Bawaslu, ada 11 kewenangan
melekat sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu setidaknya
kewenangan ini bertambah daripada kewenangan Bawaslu dalam aturan sebelumnya
yakni dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Dan sebaiknya menurut penulis Bawaslu juga harus terlebih dahulu
melaksanakan test the water dengan melaksanakan
fungsi pencegahannya, yakni melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu sesuai dengan Pasal 93 huruf b Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan diperkuat dengan Pasal 6 huruf b Perbawaslu
Nomor 1 Tahun 2020. Karena mencegah lebih baik daripada menindak karena upaya penindakan merupakan ultimum remedium. Kita
berharap Pilkada serentak 2020 di Sumatera Barat yang akan berlangsung di 13
kabupaten, kota dan 1 di provinsi. Dalam ada 49 pasangan calon yang telah
mendaftarkan diri ke KPU Sumbar bisa berjalan sesuai dengan azas pemilu
yang jujur, adil, berkepastian hukum, dan akuntabel sesuai Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu.(*)
Komentar
Posting Komentar