Catatan Hukum dan HAM Untuk Walikota Bukittinggi 2020-2025

Catatan Hukum dan HAM Untuk Walikota Bukittinggi 2020-2025

oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. 

Pada tahun 2018 lalu dengan gegap gempitanya, menjelang hari jadi Kota Bukittinggi ke-234. Bukittinggi mendapat kado istimewa dengan bertaburnya prestasi membanggakan. Setelah dianugerahkan Ombudsman RI dengan predikat Kepatuhan Tinggi terhadap Pelayanan Publik, dilanjutkan dengan Penghargaan yang diterima Walikota Bukittinggi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai Kota Peduli Hak Asasi Manusia, atas penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan Hak Asasi Manusia. Penghargaan diterima oleh Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias yang diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H.Laoly  dalam Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia ke 70 tahun 2018 yang bertempat di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Jalan Rasuna Said Jakarta.

Pemberian penghargaan kepada Kabupaten / Kota Peduli HAM, berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia, Kriteria tersebut didasarkan pada terpenuhinya sejumlah hak. yakni, hak atas Kesehatan, Hak atas pendidikan, Hak perempuan dan anak, Hak atas kependudukan, Hak atas pekerjaan, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan.

Ironi Kota Peduli Hak Asasi Manusia

Penghargaan sebagai Kota Peduli Hak Asasi Manusia ini tercederai dan ini sungguh dilema setelah kita mendengar kesimpulan dari Komnas HAM yang menyatakan kebijakan Walikota Bukittinggi terkait aduan dari pedagang Bukittinggi mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana diatur pasal 1 angka 6 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Komnas HAM yang turun langsung ke Bukittinggi setelah adanya laporan dari pedagang Bukittinggi. Sungguh saat ironis, Bukittinggi yang sangat menggantungkan diri pada Kota Perdagangan dan Industri memiliki masalah yang serius dengan elemen masyarakat pedagang. 

Bahkan jika kita lihat lagi dokumen sejarah yang dimiliki Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bukittinggi disebutkan bahwa nama kota ini sendiri berawal dari nama sebuah pasar yang ada di atas bukit yang tinggi. Dokumen tersebut menjelaskan bahwa dahulu di Minangkabau, syarat untuk mendirikan sebuah nagari adalah harus memiliki pasar, mesjid dan balai adat. Bukittinggi pada waktu dahulu bernama Nagari Kurai memiliki pasar di atas sebuah bukit, nama pasar tersebut adalah Pasar Kurai. Pasar Kurai berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi.

Adapun permasalahan yang dikeluhkan oleh pedagang Bukittinggi tersebut terdiri dari adanya: Pertama, kasus kenaikan tarif retribusi dan rencana/penutupan Pasar Aur Kuning antara Para Pedagang dengan Pemerintah Kota Bukittinggi, Kedua, kasus Relokasi penampungan sementara antara Pedagang Pasar Atas dengan Pemerintah Kota Bukittinggi, dan Ketiga, kasus pengosongan kios di jalan Kumango dan jalan Lorong Saudagar kawasan Pasar Atas Kota Bukittinggi.

Komnas HAM menyurati berbagai pihak dan Walikota Bukittinggi sendiri. Kesimpulan Komnas HAM tersebut adalah: 1. Bahwa kebijakan Walikota Bukittinggi mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sebagaimana diatur pasal 1 angka 6 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau tidak sengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi, dan atau mencabut hak asasi manusia seorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran HAM oleh walikota atas pedagang adalah terkait dengan pemenuhan hak ekonomi para pedagang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, terhalang oleh kebijakan Walikota Bukittinggi yang menaikkan tarif retribusi yang sangat tinggi. Sehingga tidak mampu dijangkau oleh para pedagang maupun relokasi pasar yang secara ekonomis tidak accessible bagi para pedagang. Seharusnya dengan adanya penghargaan yang diperoleh Kota Bukittinggi semakin memacu Bukittinggi untuk untuk mengimplementasikan anjuran Kementrian Hukum dan HAM terhadap kota layak HAM yang terdiri dari, yaitu Pertama, melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), Kedua, melaksanakan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan, Ketiga, melaksanakan Three Plus Track yang mencakup Pro Poor, Pro Job, Growth, Justice, and Environment; dan Keempat, melaksanakan Millenium Development Goals (MGDs).

Apalagi kesempatan untuk mendorong kota/kabupaten menjadi ramah terhadap HAM menjadi sangat terbuka peluangnya setelah lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, sebagai awal mulanya era desentralisasi di Indonesia. Perimbangan kekuasaan pun perlahan-lahan beralih ke daerah-daerah (kota/kabupaten), mulai dari mengatur pemerintahan hingga pemilihan kepala daerah. Pembangunan di daerah tersebut, khususnya di kota, tentunya memunculkan perpindahan penduduk yang besar dari desa ke kota.

Pentingnya Keterlibatan Warga Kota Dalam Proses Perencanaan dan Pembangunan Kota

Ini seharusnya menjadi catatan untuk Walikota Bukittinggi 2020-2025 selanjutnya, yaitu untuk mengubah wajah kota menjadi ramah HAM atau mementingkan kepentingan warga kotanya maka mutlak diperlukan keterlibatan warga kota. Selama ini warga kota disingkirkan keterlibatannya dari proses perencanaan dan pembangunan perkotaan. Terungkap dari pernyataan Yulius Rustam di Kantor Komnas HAM pada Senin, 7 Mei 2018 yang dimuat langsung dalam website resmi Komnas HAM.

Yulius Rustam yang merupakan perwakilan pedagang Bukittinggi mengungkapkan bahwa tidak adanya musyawarah antara pemerintah Kota Bukittinggi dengan pedagang. Selain itu, juga adanya kecemasan atau kekhawatiran terkait kejelasan setelah Pasar Atas dibangun kembali nantinya.

Jadi, kita bisa melihat dengan jernih bahwa tanpa pelibatan masyarakat yang luas, maka sebaik apapun pemerintahan kota yang terpilih, maka ia akan terjebak pada pola pembangunan kota sebelumnya, yang hanya melibatkan para teknokrat yang memiliki keahlian khusus. Walaupun beberapa kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah dirasa cukup baik, namun keterlibatan warga kota untuk membangun kotanya mutlak diperlukan. Hal inilah yang disebut dengan Hak warga atas Kota.

Terminologi hak atas kota ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Lefebvre pada tahun 1968. Menurutnya hak terhadap kota merupakan sesuatu yang nyata, yang hadir dengan segala kerumitannya saat ini untuk kemudian mentransformasikan dan memperbaharui kota tersebut sesuai dengan konteks ekonomi politik kekinian. Dengan pengertian ini, menurut Coen Husain Pontoh, warga miskin tidak hanya berhak untuk mengakses pendidikan dan kesehatan gratis, tetapi warga miskin yang menetap di kota juga aktif terlibat dalam proses perubahan itu.

Diperkuat lagi dengan pendapat dari Charlotte Mathivet menjelaskan dalam bukunya yang berjudul City for All: Proposals and Experiences towards the Right to the City. Buku yang diterbitkan pada 2010 itu menyebutkan hak atas kota mencakup dimensi dan komponen-komponen yang terdiri dari: 1. hak terhadap habitat yang memfasilitasi sebuah jaringan kerja hubungan sosial, 2. hak terhadap kohesi sosial dan pembangunan kolektif dari kota, 3. hak untuk hidup secara bermartabat, 4. hak untuk bisa hidup berdampingan, 5. hak untuk mempengaruhi dan mendapatkan akses terhadap pemerintah kota, dan 6. hak untuk diperlakukan secara sama.

Persoalan yang lain adalah banyak kepala daerah merasa telah memenuhi hak asasi warga kotanya ketika telah merubah “wajah” kota/kabupaten menjadi lebih indah. Jelas kriteria tersebut belum cukup untuk menyebut kota/kabupaten ramah HAM. Apakah perubahan “wajah” kota/kabupaten dari kumuh menjadi indah tersebut dapat dinikmati oleh seluruh warga kota? Salah satu prinsip kota ramah HAM adalah kota yang tidak ada penggusuran paksa. Jika itu yang terjadi kita takkan melihat lagi penjual kerupuk kuah di Bukittinggi yang berkejaran dengan aparatur negara. Karena pemerintahan kota yang baik akan menyediakan tempat berdagang sesuai dengan selera kuliner lokal dan terintegrasi untuk mendukung hak ekonomi warganya dari segala lapisan kelas masyarakat. Tidak hanya mampu mengusir tapi juga mampu memberikan solusi terbaik bagi masyarakat ekonomi kecil. Bahkan selalu mengedapan falsafah demokrasi dari Minangkabau, Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik.

Pada akhirnya, paradigma mengenai prinsip-prinsip HAM juga harus dimiliki oleh seluruh kepala daerah untuk mewujudkan kota/kabupaten ramah HAM. Sederhananya, kota/kabupaten ramah HAM bukan hanya merubah “wajah” kota menjadi lebih indah melalui pembangunan infrastruktur, namun kepala daerah tersebut juga harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya.

Sehingga amanat dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : 34 Tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kabupaten/Kota Peduli Hak Asasi Manusia, Kriteria yang didasarkan pada terpenuhinya sejumlah hak. yakni, hak atas Kesehatan, Hak atas pendidikan, Hak perempuan dan anak, Hak atas kependudukan, Hak atas pekerjaan, hak atas perumahan yang layak, dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan dapat terpenuhi. Peluang ini terbuka lebar bagi seluruh kepala daerah di Indonesia mengingat era desentralisasi telah dilaksanakan sejak tahun 1999. Melalui kebijakan desentralisasi tersebut, kekuasaan pemerintah daerah menjadi lebih luas, khususnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga kotanya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online