Alarm Penundaan Pilkada dari Bukittinggi dan Kekhawatiran Menguatnya Oligarki dan Dinasti Politik dalam Pilkada Serentak 2020 di Saat Covid-19

Alarm Penundaan Pilkada dari Bukittinggi dan Kekhawatiran Menguatnya Oligarki dan Dinasti Politik dalam Pilkada Serentak 2020 di Saat Covid-19

Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Kota Bukittinggi)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 tetap digelar sesuai tahapan, meski desakan penundaan dari berbagai elemen masyarakat terus menguat. Tingginya penambahan kasus Covid-19 sebulan terakhir ini menjadi alasan untuk menunda pilkada. Pemerintah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan penyelenggara pemilu sepakat lebih mengetatkan protokol kesehatan pada setiap tahapan pemilu, untuk mencegah penyebaran Covid-19. Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), KPU (Komisi Pemilihan Umum) juga mengubah cara-cara kampanye dengan pengetatan protokol kesehatan.

Padahal dari 270 Pilkada serentak yang digelar 9 Desember tahun ini, ada 45 wilayah masuk dalam kategori zona merah. Informasi ini disampaikan juru bicara pemerintah untuk covid-19, Wiku Adisasmito, dalam keterangan pers yang disiarkan secara langsung lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis 10 September 2020. Sebelumnya Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan Edhy Prabowo positif terpapar Covid-19. Lalu lebih dari 60 calon kepala daerah terpapar covid-19. Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Pramono Ubaid pun terkena virus covid-19.

Ditambah dengan informasi yang baru saja kita dapat, yaitu Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bukittinggi Ruzy Haryadi dinyatakan terkonfirmasi positif covid-19. Hasil ini didapat dari tes swab laboratorium yang keluar pada Minggu (27/9/2020) dua hari lalu. Ini merupakan alarm penundaan pilkada dari Bukittinggi. Ditambah lagi sebelumnya ada empat orang penyelenggara Pemilu di Agam yang terlebih dahulu positif yaitu Ketua KPU Agam Riko Antoni bersama satu orang komisioner KPU lainnya serta dua orang komisioner Bawaslu Agam. Dan juga dalam acara deklarasi damai pemilihan kepala daerah 2020 Ketua KPU Bukittinggi mengabarkan kabar buruk bahwa ada dua staf pendukung KPU Bukittinggi yang terkonfirmasi positif covid-19. Hasil labornya baru keluar Jumat kemarin.

Masa kampanye selama Pilkada Bukittinggi dan Agam yang 71 hari yang dimulai 26 September hingga 5 Desember 2020 menyimpan bom waktu covid-19 yang bisa meledak setiap saat. Kekhawatiran penulis sangatlah beralasan karena Pasal 63 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 10/2020 mengatur bentuk-bentuk kampanye yang diperbolehkan. Celakanya, aturan itu mengizinkan pengumpulan sampai 100 orang .

PBNU dan Muhammadiyah mengusulkan agar Pilkada serentak 2020 ditunda seiring pandemi covid-19 yang belum berakhir. Pasalnya, jumlah kasus positif covid-19 terus meningkat dan mencapai 248.852 per 21 September 2020. Angka ini diprediksi akan terus melonjak hingga akhir tahun. Diperkuat dengan tulisan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam opininya di koran Kompas berjudul Pilihan Menyelamatkan Rakyat, menilai beberapa negara yang telah menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi menghasilkan suara golput yang tinggi, di antaranya: Australia, Prancis, hingga Iran. Serta cendikiawan muslim dari Ranah Minang yang bergelar Sir pertama dari Indonesia sekaligus guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra dalam akun twitternya memilih untuk tidak memilih alias golput. Pilihannya untuk golput sebagai bentuk solidaritas kepada para korban covid-19 dan tenaga kesehatan yang berada di garis terdepan. Klaster pilkada pun di depan mata.

Jika Presiden Jokowi ingat, kita dapat melihat jejak digital twitter Presiden Jokowi, ia pernah menyampaikan peringatan akan bahaya klaster perkantoran, klaster keluarga, dan klaster pilkada dalam cuitan di akun Twitter @jokowi, yang diunggah pada 7 September 2020. Sebaiknya menurut penulis tunda saja pilkada keselamatan pemilih menjadi prioritas tertinggi dan yang harus diutamakan daripada memaksakan Pilkada di tengah pandemi. Angka positif covid-19 juga terus meningkat. Bukan tidak mungkin klaster Pilkada akan terjadi. Bahkan dijelaskan pula dalam Pasal 2O1 A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang menyatakan pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2O2O ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi covid-19 belum berakhir.

Dalam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.  Konsep itu juga tertuang dalam konstitusi atau UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Penyelenggara negara harusnya pahami itu baik-baik. Hal itu sudah menjadi kaidah filosofis yang hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas konstitusional negara adalah menyelamatkan rakyat Indonesia. Dalam konteks inilah pemerintah mengkaji pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020.

Untuk mensiasati penundaan pilkada, Peneliti kepemiluan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Ikhsan Maulana telah mempunyai kajian yuridis normatif dalam menghadapi penundaan pilkada, yaitu ia menilai lebih baik masa jabatan para kepala daerah diperpanjang hingga pandemi reda. Sedangkan Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menilai sumber daya birokrat berlimpah di pemerintah untuk mengisi pos Plt kepala daerah, sehingga tak mungkin tak terisi. Dari 270 pilkada, sembilan di antaranya pemilihan gubernur. Menurut dia, Kementerian Dalam Negeri punya kewenangan menunjuk sembilan orang untuk menjadi Plt Gubernur, sedangkan Plt wali kota dan bupati ditunjuk oleh gubernur setempat. Penundaan dengan memanfaatkan mekanisme pengangkatan Plt menjadi pilihan yang rasional.

Pilihan-pilihan alternatif di atas, tentu saja, akan lebih aman dipilih daripada harus tetap ngotot menjalankan Pilkada 2020 saat covid-19 yang menelan lebih dari 10.000 jiwa. Jika tidak, bukan tidak mungkin justru muncul klaster Pilkada, terlebih kemarin sudah muncul pelanggaran protokol kesehatan para paslon pilkada yang menggelar kampanye. Sampai-sampai Walikota Bukittinggi yang juga merupakan calon petahana termasuk ke dalam 72 petahana yang mengikuti pilkada yang mendapat teguran Mentri Dalam Negri karena telah melanggar protokol kesehatan dan ia mendapat teguran tertulis karena menimbulkan kerumunan diikuti oleh ribuan massa pendukung.

Selain itu, pilkada dalam situasi covid-19 bisa berakibat kurangnya pengawasan tahap pelaksanaan pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi yang demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan semata. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan, termasuk dari Mahfud MD yang menyebut pilkada dibiayai  82% oleh cukong. Menurut Mahfud MD sebagian besar pilkada dibiayai pemodal. Lebih khusus lagi pilkada di daerah-daerah uang memiliki banyak sumber daya alam, seperti: Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Sultera, Lampung, dan Maluku Utara. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki  dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Menunda Pilkada adalah jalan yang paling bijak untuk menyelamatkan demokrasi, dan hak konstitusional warga negara.

Kekhawatiran akan menguatnya oligarki dan dinasti politik dalam Pilkada Serentak 2020 diperkuat juga dengan pandangan dari Pengamat politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai pemerintah tentu punya banyak pertimbangan jika ingin menunda pilkada karena berdampak pada banyak aspek. Pertama, penundaan akan berdampak pada pembengkakan anggaran. Jika pilkada ditunda, maka peta anggaran akan berubah. Kedua, penundaan dipastikan akan berdampak pada sejumlah calon yang maju dan memiliki relasi dengan tokoh nasional. Diketahui anak dan menantu Jokowi, Gibran Rakabuming Raka serta Bobby Nasution turut maju dalam pilkada di Kota Solo dan Medan. Diikuti dengan Pilkada Tangerang Selatan yang menjadi perebutan tiga dinasti Muhamad-Rahayu Saraswati dari keluarga Prabowo Subiato dan Siti Nur Azizah-Ruhamaben dari keluarga Wakil Presiden Maaruf Amin untuk menggusur mengalahkan calon petahana Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan dari keluarga Ratu Atut Chosiyah. Bisa jadi kalau diundur, proyeksi (kemenangan) akan bergeser yang semula besar jadi kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Bedanya Alfamart, Indomaret dan Niagara?

Ketua PPKHI Bukittinggi Apresiasi Keberhasilan Guguk Bulek Juara Kelurahan Berprestasi 2021

Ketua PPKHI Bukittinggi : Selamat Hari Perempuan Internasional, Pertahankan Keistimewaan Perempuan Minang

Kedai Musamie Bukittinggi, Inovasi Mie Pedas dari Anak Nagari, dan Peran Pemda dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif

Belajar dari Penangkapan Munarman

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi: Penghormatan kepada Buruh Tak Hanya Pesan HAM tapi juga Pesan Spiritual Islam

Hari Lahir Pancasila dan Peran Pengacara Bukittinggi sebagai Officium Nobile di Era Pandemi

Riyan : Jangan ada Intimidasi di Alek Gadang Pilkada Badunsanak Kota Bukittinggi

Ketua Dewan Pembina DPN PPKHI Apresiasi Keberhasilan Ketua PPKHI Bukittinggi yang Berperan dalam Tim Hukum yang Mengharuskan KPU Melakukan Verifikasi Faktual Ulang Pertama di Indonesia terhadap Bapaslon Independen

Lakatas Gelar Buka Bersama dan Mubes