Apakah Boleh Berbicara Politik di Lapau?
Apakah Boleh Berbicara Politik di Lapau?
Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H. [Alumni Magister Hukum Universitas Pancasila dan merupakan Kepala Bidang Penyelesaian Sengketa Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) Kota Bukittinggi]
Menjelang 9 (sembilan) Desember 2020, pembicaraan tentang politik akan menjadi hal yang hangat di Ranah Minang. Ini terkait dengan adanya agenda pemilihan kepala daerah di ranah yang merupakan ranahnya pendiri republik tersebut. Bagi masyarakat Minangkabau pada umumnya, lapau merupakan sebuah lembaga non-formal wadah membangun suatu interaksi, bersosialisasi, bertukar informasi dan berdiskusi. Lapau merupakan tempat yang wajib didatangi kaum laki-laki datangi. Diceritakan oleh covesia.com tidak sulit mencari keberadaan lapau, disetiap nagari mempunyai lapau masing-masing, bahkan jumlahnya lebih dari dua kepal tangan.
Keinginan untuk mengekspresikan diri sebagaimana
yang terjadi di lapau, yakni berinteraksi, bersosialisasi, bertukar informasi,
dan berdiskusi muncul sebagai konsekuensi logis dari hakikat manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial) yang
mana dalam menjalin komunikasi dengan sesamanya pasti berdasar pada bentuk
ekspresi personalnya. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan
yang puncaknya adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri atau dengan kata
lain menampilkan ekspresinya dimuka umum.
Kebebasan berekspresi sesungguhnya bukan ide
eksklusif Amerika Serikat. Istilah “kebebasan berekspresi” itu sendiri
sebenarnya telah ada sejak zaman kuno, setidaknya semenjak masa Socrates dan Plato,
saat Polis Athena di Yunani masih berjaya sekitar 2400 tahun yang lalu. Sejarah
modern dari Kebebasan berekspresi di mulai pada abad ke-14 dimana percetakan mulai
berkembang di Eropa. Lalu perlindungan pertama di dunia terhadap hak untuk
bebas berekspresi diberikan oleh Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat
pada abad ke-18. Dan ada fakta menarik Islam memperkenalkan konstitusi HAM dalam Piagam Madinah yang dicetuskan pada 12 Ramadan 622 M. Sedangkan Magna Charta yang selama ini menjadi rujukan HAM di dunia baru dicetuskan pada 15 Juni 1215 M. Magna Charta adalah hukum HAM yang jadi rujukan dunia. Padahal dalam catatan sejarah, justru Piagam Madinah yang juga mengatur HAM lahir lebih dulu.
Diceritakan lebih lanjut oleh covesia.com, bahwa tak
diketahui pasti kapan sejarah duduk di lapau ini bermula, namun sepertinya ini
sudah menjadi tradisi turun-temurun. Duduk di lapau sudah mengakar dari nenek
moyang hingga saat ini. Bahkan kebiasaan duduk di lapau itu pun diturunkan ke
menantu, “rang sumando” yang berasal
dari luar daerah. Beberapa hari setelah menikah, mertua atau saudara laki-laki
dari istri sudah lansung mengajak rang Sumando ini duduk di lapau. Bahkan ada
pameo yang berkembang; jika laki-laki Minang tidak ke lapau akan dibilang kuper
atau tidak bermasyarakat. Atau ada juga guyonan
yang mengatakan kalau ingin jadi Anggota Dewan, perbanyaklah datang ke
lapau.
Jaminan
Kebebasan Berbicara Politik di Lapau
Dan bagaimanakah dasar hukumnya untuk masyarakat
Minang yang membahas politik di lapau? Untuk menjelaskan ini kita perlu melihat
beberapa urgensi kebebasan ekspresi dan kemajuan politik suatu negara. Sebagaimana
dijelaskan oleh John Stuart Mill yang berpendapat bahwa kebebasan berekspresi
memiliki peran sentral dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
tidak tiran. Peran ini dimulai ketika proses pengisian jabatan pemerintahan
melalui pemilu. Untuk memilih calon yang paling baik dibutuhkan akses dan
keterbukaan informasi tentang peserta pemilu. Hal ini penting agar masyarakat
mempunyai informasi yang cukup dalam memilih calon yang tepat untuk duduk dalam
pemerintahan. David E. Guinn juga berpendapat bahwa kebebasan berekspresi atau freedom
of expression merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia. Kebebasan
berekspresi dapat dimaknai sebagai suatu tindakan yang memuat unsur-unsur atau
karakteristik dari sikap ekspresif yang meliputi komunikasi, informasi, dan
pengaruh.
Ada dua jenis hak dalam kebebasan berekspresi, yaitu
hak untuk berekspresi itu sendiri dan juga hak untuk mendengarkan atau menerima
ekspresi tersebut. Untuk melindungi kebebasan berekspresi warga negara, seperti
berbicara politik di lapau. Hukum negara kita telah memiliki jaminan kebebesan
berbicara politik dalam suatu produk hukum. Kebebasan berbicara politik ini menurut
Thomas Emerson perlu dijamin karena memiliki berbagai urgensi. Pertama,
membantu seseorang untuk mendapatkan kepuasan. Kedua, membantu untuk menemukan
kebenaran. Ketiga, memperkuat kemampuan setiap individu dalam membuat
keputusan. Keempat, menyediakan mekanisme yang mendukung terwujudnya
keseimbangan antara stabilisasi dan perubahan sosial.
Jaminan
Kebebasan Berbicara Politik di Lapau dalam Sudut Padang Islam
Tak jauh berbeda dengan kebiasaan masyarakat Minang
yang senang berdiskusi di lapau. Apalagi jika kita lihat dalam tulisan Sejarah
Kopi dan Perabadan Islam yang ditulis oleh Humaidy Ibnu Sami ia menjelaskan bahwa
budaya berdiskusi sambil meminum kopi mengalami inovasi pertama kali di dunia
Arab, sehingga secara perlahan-lahan menjadi alternatif terhadap kebiasaan
minum khamr yang telah dilarang di kalangan masyarakat Arab. Inovasi-inovasi
kegiatan ngopi ini juga akhirnya menciptakan komunitas yang mengasyikkan,
menjelang shalat malam berjamaah. Jadi, kebiasaan orang-orang yang berkumpul
minum kopi bersama-sama sambil mendiskusikan banyak hal telah punya akar
panjang dalam sejarah Islam. Melalui perdebatan panjang yang melibatkan
pakar-pakar fiqh, hakim/qadi, para dokter, dan pemimpin-pemimpin politik di
seluruh dunia Muslim, minum kopi akhirnya bukan hanya dianggap halal tetapi
justru dianjurkan karena dinilai bermanfaat untuk pencerahan spiritual —
melalui jalan “markaha,” yakni
persekutuan deliberatif untuk berkumpul dan berbicara tentang kebaikan dalam
persaudaraan dan persahabatan.
Fatwa halal kopi membuat kota-kota Muslim pada tahun
1453, seperti untuk pertama kali Turki dengan membuka kedai kopi bernama Qahveh
dan kedainya disebut Kiva Han. Kemudian
menyusul Konstantinopel, Bagdhad, dan beberapa kota di India dan Iran,
menyediakan kafe-kafe publik perhelatan kopi. Para Sultan juga mulai
tergila-gila pada kopi sebagai minuman bergengsi. Di istana-istana mereka
dibuat tempat khusus untuk minum kopi dan berdiskusi.
Jika kita melihat jauh kembali ke masa Islam terdahulu tentang kebebasan berpendapat di tempat umum, di kedai kopi atau pun lapau jika mengacu sebutan kedai di Ranah Minang. Kita bisa melihat dimana Nabi dan kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan perjanjian tertulis dengan orang-orang yahudi, yang tertuang dalam Piagam Madinah, secara eksplisit atau implicit, sudah ada nilai-nilai kebebasannya. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal. Dalam buku Suyuthi Pulungan yang berjudul Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan al-Qur’an terungkap Piagam Madinah menyebutkan prinsip kebebasan, diantaranya adalah kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik, kebebasan dari kekurangan, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan berpendapat.
Kebebasan mengemukakan pendapat (hurriyyat al-ra’y) merupakan aspek terpenting dari kebebasan berbicara. Dalam pemerintahan Islam, kebebasan berpendapat adalah hak individu yang mengantarkanya kepada kepentingan dan nuraninya yang tidak boleh dikurangi negara atau ditinggalkan individu. Hal ini penting bagi kondisi pemikiran dan kemanusiaan setiap individu, agar seorang muslim dapat melakukan kewajiban-kewajiban Islamnya. Diantara kewajiban tersebut adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yang untuk merealisasikannya membutuhkan dan dituntut kecakapan mengutarakan pendapat secara bebas. Ini termaktub jelas dalam QS. Ali Imran : 104; QS. Al-Ashr : 2-3; QS. Al-Taubat : 71. Dan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa “Barangsiapa di antara kamu melihat suatu kemunkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka ia ubah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Kebebasan berpendapat yang baik dilakukan di media ataupun di lapau ini harus dimanfaatkan untuk tujuan menyebarkan kebaikan, dan tidak untuk menyebarluaskan kejahatan dan kezaliman. Seseorang boleh mengemukakan pendapat secara bebas, asalkan tidak melanggar hukum mengenai penghujatan, fitnah, melawan kebenaran, menghina keyakinan orang lain atau dengan mengikuti kemauan sendiri. Dan dalam keadaan bagaimanapun juga Islam tidak akan mengizinkan kejahatan dan kekejian, dan juga tidak memberikan hak kepada siapa pun untuk menggunakan bahasa yang keji atau menghina atas nama kritik. Oleh karena itu kebebasan berpendapat yang dilakukan di manapun termasuk lapau harus sesuai dengan prinsip kaidah umum hukum Islam, yakni mewajibkan setiap manusia supaya menegakkan dan melaksanakan yang benar, menghapus dan menghindari yang salah.
Jaminan
Kebebasan Berbicara Politik di Lapau dalam Hukum Negara dan Internasional
Sebagaimana pendapat David Wise, dkk dalam buku Democracy Under Pressure, salah satu
persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara demokrasi adalah
kebebasan anggota masyarakatnya untuk mengutarakan ide maupun gagasannya secara
terbuka tanpa dibatasi melalui media apapun. Dan Indonesia yang merupakan salah
satu negara demokrasi terbesar di dunia harus mengedepankan kebebasan
berpendapat dan berkespresi di depan umum. Begitu juga dengan Ranah Minang yang
mana masyarakatnya terkenal dengan masyarakat egaliter, kebiasaan berdiskusi
sudah menjadi kebiasaan yang kita lihat sehari-hari di ranah itu.
Amien Rais sendiri menyatakan bahwa terdapat 10
kriteria demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Salah satunya ialah
pemenuhan terhadap empat macam kebebasan, yakni: kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama. Bila rakyat sudah
tidak boleh berbicara atau mengeluarkan pendapat, maka itu pertanda tiadanya demokrasi.
Selain itu, terdapat juga beberapa hak-hak dasar
politik yang inti bagi warga negara diantaranya adalah hak untuk mengemukakan
pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat. Dalam UUD 1945, tercantum adanya
keberadaan hak politik sipil dalam beberapa pasal. Pada pasal 27 ayat 1
mengenai persamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan
pemerintahan; pasal 28 tentang kebebasan, berkumpul dan menyatakan pendapat;
dan pasal 31 ayat 1 tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
Dan hak untuk berbicara politik di lapau dijamin hukum tertinggi di negara
kita, yaitu Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan, berkumpul dan menyatakan
pendapat.
Lalu diperkuat dengan aturan turunannya, yaitu Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 sendiri merupakan undang-undang yang mengatur secara teknis prosedur
penyampaian pendapat di muka umum. Ada hal yang bersejarah dari undang-undang
ini karena dibuat ketika adanya peralihan dari rezim orde baru Soeharto ke
rezim reformasi yang menjamin kebebasan warganya untuk berbicara dimuka umum,
termasuk di lapau.
Kebebasan berbicara politik di lapau juga dijamin
oleh kovenan hukum internasional yang dipatuhi oleh masyarakat internasional Konvenan
Internasional Sipil dan Politik atau ICCPR (International
Convenan on Civil and Political Rights) dan telah diratifikasi negara kita.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap kovenan
internasional tentang hak sipil-politik. Tepatnya pada Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 dijelaskan bahwa negara harus menjamin hak atas kebebasan
berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk
karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya). Dan dijamin juga oleh Pasal
23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN berbunyi "Setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pendapat dan
berekspresi, termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa gangguan
dan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi, baik secara lisan,
tulisan, atau melalui cara lain yang dipilih orang tersebut." Pasal 23
Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN melindungi hak individu untuk membentuk,
memegang, dan mengekspresikan pendapat mereka tanpa dihalangi oleh pihak mana
pun selama digunakan secara beradab.
Serta dalam kesepakatan internasional negara-negara Islam yang terjewantah dalam Deklarasi Kairo yang merupakan deklarasi hak asasi manusia yang diadakan di Kairo, Ibukota Mesir pada 1990 oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam Deklarasi Kairo, hak dan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat sertamendapatkan dan menyebarkan infomasi dinyatakan secara jelas dalam Pasal 22. Dalam Pasal 22 Deklarasi Kairo dijelaskan pada ayat (1) Setiap orang berhak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan caratidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, ayat (2) Setiap orang berhak untuk mengajak kepada kebaikan, amar ma’ruf dan nahimungkar sesuai dengan norma-norma syariat Islam, ayat (3) Informasi merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat. Dilarang mengeksploitasinyadan menyalahgunakannya serta melanggar kesucian dan martabat para Nabi di dalamnya,dan melakukan hal-hal yang melemahkan nilai moral ataumenyebabkan masyarakatmenjadi kacau atau rusak akhlak atau bahaya atau guncangakidahnya. Dan ayat (4) Tidak diperbolehkan membangkitkan kebencian nasionalisme atau doktrinal danapapun yang menghasut kepada diskriminasi rasial dengan segala bentuknya
Komentar
Posting Komentar