Umat Islam Dunia setelah Kemenangan Biden serta Tantangan untuk Indonesia dan Amerika dalam Reformasi Kepolisian

Umat Islam Dunia setelah Kemenangan Biden serta Tantangan untuk Indonesia dan Amerika dalam Reformasi Kepolisian

Oleh: Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

(Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi)  

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (An-Najm 39-41)

Joe Biden telah resmi jadi Presiden Amerika dan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika. Kamala sendiri kembali mencetak sejarah sebagai wanita non white, berketurunan Jamaica-India, yang menduduki jabatan Wakil Presiden pertama di Amerika.  Kekalahan Trump baik secara electoral (berdasarkan jumlah distrik) maupun secara popular votes (jumlah suara) tidak menjadikannya mau mengakui kekalahan itu. Trump menuding bahwa pilpres itu tidak jujur, maka pada tanggal 6 Januari terjadi pendudukan Capitol Hills pendukung Donald Trump. Sebuah peristiwa yang tidak saja merendahkan Amerika di mata dunia. Tapi sesungguhnya merupakan pelecehan yang nyata kepada demokrasi itu sendiri.

Kemenangan Joe Biden yang legal ini berdasarkan pada pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat yang menurut konstitusi Amerika diatur dalam Article II – The Executive Branch Note, Section 1 (pasal II ayat I).  Sekilas perbandingan pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden di Amerika dan Indonesia kita bisa melihat bahwa pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden di negara kita dalam UUD 1945 ternyata sangat rinci, yaitu diatur di beberapa pasal dan diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Sedangkan pengaturan pemilu presiden dan wakil presiden di Amerika Serikat dalam konstitusi sangat simpel karna hanya diatur di satu pasal yang memuat beberapa aturan dalam pemilihan umum dan di atur lebih lanjut dalam undang-undang.

Masyarakat Muslim Amerika dan mayoritas bangsa Amerika lega dengan kemenangan Biden. Kemenangan ini juga berarti berakhirnya pemerintahan Donald Trump selama empat tahun dengan segala beban dan permasalahannya. Dari masalah rasisme, diskriminasi kepada segmen masyarakat minoritas, Muslim Ban, politik isolasi dengan berbagai kebijakan unilateral, termasuk keluar dari WHO (World Health Organization), ketidakseriusan dan inkapabilitas dalam menangani Covid yang menyebabkan hingga Jumat (29/01/2021) 429.000 lebih warga meninggal, hingga pengakuan Jerusalem sebagai Ibu kota Israel sekaligus pemindahan Kedubes Amerika ke Jerusalem. Tentu bagi Umat Islam, hal yang paling berat adalah anti-Islam Donald Trump secara pribadi dan akhirnya membentuk lingkungan kebencian kepada Islam. Ada beban psikologis yang berat dalam empat tahun terakhir.

Kemenangan Biden bagi masyarakat Amerika, atau tepatnya bagi mayoritas warga Amerika, termasuk Komunitas Muslim, memberikan optimisme tersendiri. Ada harapan bahwa Biden akan membawa perbaikan terhadap berbagai damages (kerusakan-kerusakan) yang telah dilakukan oleh Donald Trump selama menjabat sebagai Presiden. Termasuk wajah Amerika di dunia internasional yang sangat rusak akibat karakter Donald Trump. Kemenangan Biden memiliki harapan bahwa Amerika akan kembali rasional, baik dalam kebijakan domestik maupun kebijakan global (foreign policy). Biden nampaknya berusaha untuk memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat luas. Termasuk pembentukan kabinet yang berwajah Amerika. Artinya kabinet yang merangkul seluruh elemen masyarakat Amerika, termasuk Muslim Amerika, diantaranya Amerika baru saja memiliki seorang Jaksa Muslimah pertamanya. 

Umat Islam Dunia setelah Kemenangan Biden 

Kebijakan luar negeri (Foreign Policy) Biden juga menjadi sorotan umat Islam dunia. Bagaimana Biden akan menangani isu Palestina dan Jerusalem khususnya? Akankah Biden membalik keputusan Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel secara sepihak? Bagaimana pula dengan isu-isu keumatan lainnya, termasuk Isu Uighur, Rohingyah, Kashmir, Yaman, Suriah, dan lain-lain? Harapan kita tentu Amerika Serikat berpedoman pada piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mana pada pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal 55c, pasal 62 ayat 2, pasal 68, dan pasal 76c yang berisi bahwa PBB  akan  mendorong,  mengembangkan,  dan mendukung  penghormatan  secara  universal  dan  efektif  hak-hak  asasi  dan kebebasan-kebebasan  pokok  bagi  semua  tanpa  membedakan  suku,  kelamin, bahasa, dan agama.

Namun Amerika tetap Amerika yang punya karakter dan kepentingan sendiri. Umat Islam harus sadar bahwa perubahan nasib umat ini tidak pernah dan memang tidak harus ditentukan oleh orang lain. Perubahan hanya akan terjadi ketika umat ini sadar akan urgensi melakukan perubahan itu. Dan perubahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri! Ini sesuai dengan pesan dalam Surat An-Najm ayat 39-41, yang menyatakan “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”

Tantangan Indonesia dan Amerika dalam Reformasi Kepolisian 

Lalu bagaimana dengan hukum setelah kemenangan Biden. Biden harus siap menghadapi gugatan Presiden Donald Trump di peradilan tinggi tingkat negara bagian, hingga Mahkamah Agung. Sekaligus pula, melanjutkan reformasi Kepolisian pasca pembunuhan George Floyd, serta reformasi  atas sistem peradilan yang dirasakan tidak berpihak pada masyarakat kulit hitam.  Selanjutnya, Biden melakukan sosialisasi akan pentingnya membangun keamanan dan ketertiban masyarakat, tanpa perlu mengandalkan kelompok sipil bersenjata,  termasuk mengetatkan penggunaan senjata.

Harapan terhadap agenda reformasi kepolisian di Indonesia pun harus kembali berlajut setelah Komjen Listyo Sigit terpilih sebagai Kapolri. Karna wajah buruk kepolisian tergambar terang benderang dari angka kekerasan yang dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sepanjang Juni 2018 hingga Mei 2019. Menurut komisi ini, sebanyak 643 kekerasan dilakukan polisi dalam kurun itu. Kekerasan tersebut antara lain dalam bentuk penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka atau tewas. Kontras pun mencatat sebanyak 72 kasus penyiksaan atau perlakuan kejam dan tak manusiawi terjadi dalam kurun yang sama, yang menyebabkan 16 orang tewas dan 114 luka-luka. Dari total kasus tersebut, 57 di antaranya dilakukan polisi, 7 oleh tentara, dan 8 oleh sipir. Motif utama polisi adalah ingin mengejar pengakuan atau alat bukti dari pelaku. 

Ditambah lagi kita baru saja mendengar ada kasus terbaru di Sungai Pagu, Solok Selatan, Sumatera Barat. Di mana ratusan massa mendatangi Polsek Sungai Pagu dan melakukan pelemparan sehingga menyebabkan kaca di sejumlah ruangan di kantor Polsek tersebut pecah dan hancur berantakan. Kejadian itu berawal setelah anggota polisi daerah itu melakukan penangkapan terhadap seorang daftar pencarian orang (DPO), dan melakukan penembakan, karena saat penggerebekan terjadi perlawanan.

Sosiolog dari Universitas Negeri Padang (UNP), Erian Joni menilai dengan adanya kasus tersebut menjadi preseden buruk dan citra negatif institusi polisi di tengah masyarakat. Dari konflik vertikal polisi versus masyarakat di Sungai Pagu ini, menandakan makin buruknya hubungan polisi dengan masyarakat, karena sebuah kasus dalam prespektif sosiologi kriminal bukan disebabkan oleh satu variabel, ada variabel lain yang menyebabkan antipati masyarakat terhadap polisi di daerah ini. 

Dari beberapa uraian kejadian di atas kita masih menyaksikan tindakan polisi yang tidak profesional dan itu jelas menyimpang jauh dari semangat reformasi kepolisian. Pembenahan kepolisian sebenarnya telah dimulai saat dilakukan pemisahan antara Polri dari Tentara Nasional Indonesia sesuai denganTAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI.

Dan di era millenial ini, reformasi kepolisian didukung pula oleh Grand Strategi Polri 2005-2025, kepolisian telah membuat cetak biru perjalanannya di masa kini dan yang akan datang yang menekankan pada membangun kepercayaan (trust building), membangun kemitraan (partnership building), dan strive for excellence, yang berbasis pada paradigma baru polisi sipil yang human, protagonis, bermartabat, dan beradab. Harapan kita dalam agenda reformasi kepolisian ini, semoga segera tercipta good police governance, good cyber police, good economy police, dan menguatnya sinergi polisi dengan instansi lintas sektoral baik dalam skala nasional, regional dan global, Amiin, Wallahu A'lam Bishawab. 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

Berapa Lama Waktu dan Biaya yang Dibutuhkan saat Mengurus Cerai di Bukittinggi?

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah