Paradoksal Ketika Presiden Minta Dikritik
Paradoksal Ketika Presiden Minta Dikritik
Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., mencatat dalam Februari 2021 ini ada dua kali Presiden Joko Widodo menyatakan keterbukaan dirinya untuk dikritik. Pertama, saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2020 lewat video, Senin (8/2/2021), Jokowi mengatakan "masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau pun potensi malaadministrasi." Dan kedua, saat memberikan sambutan dalam Hari Pers Nasional, Selasa (9/2/2021), Jokowi mengatakan hal yang kurang lebih sama. Kali ini ditujukan kepada media massa. "Pemerintah terus membuka diri terhadap masukan dari insan pers," katanya.
Namun, menurut Riyan, pernyataan Presiden Joko Widodo yang mememinta publik tak segan mengkritik pemerintah adalah kontradiktif serta adanya paradoksal dengan apa yang terjadi selama ini. Banyak individu hingga lembaga yang mengkritisi kebijakan pemerintah pada akhirnya dipolisikan dengan peraturan karet, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Tak heran jika persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia semakin menurun. Survei Indikator Politik Indonesia menyebut 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis,” ungkapnya.
Riyan juga menyatakan kita bisa melihat, beberapa hari setelah pernyataan Presiden tersebut, pada Kamis, (11/2/2021), Ormas Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK) melaporkan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan ke Bareskrim Polri. Penyebabnya, Novel dituding melakukan provokasi melalui cuitannya di Twitter, terkait mengapa Soni Eranata alias Maaher At-Thuwailibi meninggal di Rutan Bareskrim. Hingga kini belum diketahui apakah Bareskrim Polri menerima atau menolak aduan tersebut. Ormas Mitra Kamtibmas tersebut menjerat Novel dengan pasal karet UU ITE. Di antaranya Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2016 tentang ITE.
Lebih lanjut Riyan menyatakan pernyataan Jokowi kontradiktif karena pihak yang mengkritik pemerintah selama ini dihadapkan dengan jerat UU ITE. "Jika benar Presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini," kata Riyan di Bukittinggi, Jumat (12/02/21). Ia juga menilai pernyataan Jokowi mengabaikan fakta menurunnya kebebasan sipil yang gejalanya adalah semakin banyaknya pemolisian dan penangkapan, sebagaimana Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat setidaknya ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia: Sumatera Utara, Sumatera Barat Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, hingga Papua.(*)
Komentar
Posting Komentar