Ketua PPKHI Kota Bukittinggi Tetap Apresiasi Pencabutan Perwako Nomor 40 dan 41 secara De Facto

 


Ketua PPKHI Kota Bukittinggi Tetap Apresiasi Pencabutan Perwako Nomor 40 dan 41 secara De Facto

pengacarabukittinggi.blogspot.com , Bukittinggi - Menanggapi polemik pencabutan Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 tentang Tarif Retribusi Toko, Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi menyatakan memang secara De jure (dalam bahasa Latin Klasik: de iure) adalah ungkapan yang berarti "berdasarkan (atau menurut) hukum", memang belum dicabut, karna dalam pencabutan suatu aturan membutuhkan alur birokrasi yang menyita waktu antara legislatif dan eksekutif di Kota Bung Hatta, sebagaimana dijelaskan dalam aturan Angka 223 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011, yang menyatakan Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.Namun Riyan tetap mengapresiasi karna Walikota Bukittinggi terpilih dan tim yang berjanji secara de facto, yang berarti "pada kenyataannya (fakta)" telah mencabut aturan yang meresahkan dan diduga melanggar HAM pedagang Bukittinggi (hak ekonomi) itu setelah dilantik dihadapan para pedagang yang dilaksanakan di Rumah Dinas Walikota Bukittinggi, ungkapnya di Bukittinggi, Minggu, (28/2/2021). 

Adapun alasan Riyan tetap mengapresiasi karna aturan ini sebelumnya meresahkan disebabkan karna pedagang tidak pernah tahu karena tidak ada sosialisasi oleh Pemko terkait Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 tentang Tarif Retribusi Toko ini. Bahkan Riyan menjelaskan meski telah ada surat rekomendasi Komnas HAM Pusat Nomor: 013/TUA/I/2020 terkait adanya pelanggaran hak pedagang, walikota terdahulu tetap menganggap angin lalu, sehingga akhirnya sesuai mekanisme, Komnas HAM akhirnya membuat rekomendasi ke Presiden agar Presiden bertindak konkret atas adanya pelanggaran HAM yang dilakukan Pemko atau walikota terhadap masyarakat pedagang di Bukittinggi. “Setidaknya secara de facto sudah ada harapan terhadap pemenuhan HAM pedagang Bukittinggi, yakni hak ekonomi para pedagang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, terhalang oleh kebijakan walikota Bukittinggi yang menaikkan tarif retribusi yang sangat tinggi sehingga tidak mampu dijangkau oleh para pedagang,” ungkapnya.

Alasan lainnya yang diungkap Riyan kenapa ia tetap mengapresiasi terkait pencabutan aturan ini, karna jika kita melihat sejarah pembuatan aturan ini sungguh memiriskan, masalah yang dihadapi pasca aturan Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 tentang Tarif Retribusi Toko terbit sudah dicoba dilaporkan pedagang ke berbagai pihak terkait. Mulai ke DPRD Kota Bukittinggi, ke DPRD Sumbar, ke Gubernur Sumbar, ke Komisi II DPR-RI, juga ke Mendagri, Sekretariat Kabinet. Semua laporan yang diupayakan pedagang Bukittinggi, tidak ada hasil. Pemko dan walikota Bukittinggi tetap berjalan, melakukan secara sepihak tanpa mengacuhkan keberatan dan aspirasi masyarakat pedagang.

Dan sekarang aturan itu telah dicabut secara de facto, menurut Riyan ini harus tetap diapresiasi karena walikota terpilih mendengarkan aspirasi pedagang, pendengaran aspirasi ini sangat konstitusional karna menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pendengaran aspirasi masyarakat merupakan pengakuan adanya partisipasi masyarakat dalam membuat aturan, yaitu tentang diakuinya oleh walikota terpilih peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran dan kepentingannya dalam pemerintahan daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, partisipasi masyarakat mencakup penyusunan peraturan daerah dan kebijakan daerah yang mengatur dan membebani masyarakat, perencanaan, penganggaran, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan daerah, pengelolaan asset dan/atau sumber daya alam daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik.

Masyarakat dapat mengajukan keberatan ataupun pembatalan atas peraturan daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi: “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Atau Masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya mengenai keberatan atau pembatalan perda tersebut melalui DPRD, yang kemudian dapat dibahas kembali mengenai Perda dimaksud dengan pihak eksekutif untuk dicabut atau diubah perda yang diajukan oleh masyarakat tersebut. Mengenai pengaturan mengubah atau mencabut suatu perda telah diatur juga dalam Angka 221 sampai dengan Angka 238 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011. Dan sekarang pencabutan aturan tersebut semakin menemui titik terang setelah adanya persetujuan secara de facto dari walikota terpilih.

Setelah Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 tentang Tarif Retribusi Toko ini secara de facto dicabut, menurut Riyan dalam agama Islam, secara syariat telah digariskan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menunaikan kewajibannya dengan baik dan sebesar-besarnya berpihak pada kepentingan rakyat. Hal ini sesuai dengan maqalah “Tasarruful imam 'alar raiyyah manutun bil mashlahah” (kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyatnya). Dan masyarakat menghendaki Perwako Nomor 40 dan 41 Tahun 2018 tentang Tarif Retribusi Toko itu dicabut karna membebani masyarakat pedagang Kota Bukittinggi. Meski baru dicabut secara de facto di depan pedagang, kita berharap jajaran eksekutif bersama-sama aparatur sipil negara beserta legislatif bersinergi mengakomodir janji politik walikota terpilih secara de jure, sehingga terbentuk Perwako baru yang mencabut Perwako Nomor 40 dan 41 tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam aturan Angka 223 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011, yang menyatakan Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.

Sinergi diperlukan karna Riyan mengungkapkan terkait janji politik ini dijelaskan pula dalam legal formal pada Pasal 5 ayat 2 UU RI Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyebutkan RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. "Jadi, misi visi, strategi, kebijakan dan lainnya atau janji politik selama kampanye adalah legal, karena merujuk kepada Pasal 5 ayat 2 UU RI Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa janji politik bisa menjadi komponen dalam pembahasan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)," ungkapnya. 

Hindari Disconnected Electoral di Kota Bung Hatta

Selain itu Riyan juga mengingatkan agar Demokrasi Bukittinggi, Kota Bung Hatta tak terjebak masalah disconnected electoral, yaitu adanya keterputusan relasi antara pemimpin dengan yang rakyat yang memilih. Sehingga seringkali tindakan yang dilakukan oleh pemimpin tidak linier dengan apa yang menjadi aspirasi dan keinginan dari rakyat Bukittinggi yang diwakili (publik). Riyan menjelaskan berdasarkan Kajian Politik Hukum PPKHI Kota Bukittinggi sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye.

Dan juga dalam Kajian Politik Hukum PPKHI Kota Bukittinggi, ditemukan bahwa janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak. Karena itu dalam sistem politik otoriter seorang diktator tidak perlu berjanji kepada siapapun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga. Meski demikian, Riyan mengatakan meski banyak janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk ini juga diungkapkan ilmuan Paul B. Kleden. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk dan akan terperosok menjadi sebuah pragmatisme yang membenarkan sebuah praktik politik tanpa moral sehingga  tak patut disebut sebagai politik. 

Formulasikan Janji Politik ke Dalam Bentuk Janji Hukum 

Dalam kesimpulan Kajian Politik Hukum PPKHI Kota Bukittinggi, satu langkah yang bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk janji hukum. Artinya, setiap apa yang akan dijanjikan dalam kampanye sebagai strategi mendulang dukungan masyarakat harus dituangkan dalam naskah hukum (akta notaris) yang ditandatangani oleh para kontestan pemilu dan oleh KPU mewakili rakyat sehingga akan memiliki implikasi hukum apabila terjadi wanprestasi.

Dalam perspektif hukum Hukum Tata Negara, abai terhadap janji yang berdimensi hukum dapat menjadi alasan untuk meminta pertanggungjawaban para wakil yang bisa saja berujung pada recall untuk anggota legislatif dan impeachment pada presiden dan pemimpin kepala daerah. Melegalkan janji politik sehingga berdimensi hukum menjadi sangat penting untuk menutup salah satu kelemahan pemilu langsung, yaitu kecenderungannya melahirkan pemimpin yang populer di mata masyarakat walaupun mungkin tidak memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Hal ini sangat mungkin terjadi karena melalui kampanye seorang calon dapat memoles dirinya (self-imaging) agar (seolah-olah) tampak memiliki kualitas dan kapasitas, walaupun sebenarnya yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki keunggulan-keunggulan tersebut.

Harapan Riyan, "Dengan melegalkan janji politik sehingga berdimensi hukum menjadi sangat penting karna akan mendorong para politisi untuk membuat janji yang realistis sesuai dengan kemampuannya untuk merealisasikan dan tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya tidak akan mampu diwujudkan. Dengan demikian, janji kampanye akan benar-benar menjadi rujukan utama bagi rakyat dalam menentukan pilihannya dalam pemilu dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Hanya dengan cara demikian, pemilu kepala daerah di Indonesia khususnya di Bukittinggi tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif," tutupnya.(*)


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online