Kudeta Militer Myanmar dan Kendala Hukum Penegakan Demokrasi ASEAN


Kudeta Militer Myanmar dan Kendala Hukum Penegakan Demokrasi ASEAN

pengacarabukittinggi.blogspot.com - Bukittinggi - Sebelumnya awal Oktober lalu, serangkaian pembunuhan dan kekerasan kembali menerpa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, menyulut perhatian dunia internasional termasuk Indonesia. Dan kabar terkini, eskalasi politik yang panas tengah mengguncang salah satu negara ASEAN, Myanmar. Militer Myanmar melakukan kudeta pasca-kekalahan dalam pemilu beberapa waktu lalu. Selain mengambil alih kekuasaan, militer juga menetapkan kondisi darurat selama setahun setelah melakukan penahanan terhadap Presiden dan sejumlah tokoh pemimpin politik Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi.

Menanggapi terjadinya kudeta Myanmar ini Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra mengungkapkan berdasarkan kajian hukum internasional PPKHI Kota Bukittinggi terungkap kudeta pada dasarnya proses pengambilalihan pemerintahan yang sifatnya inkonstitusional. Dalam menyikapi kondisi ini, Pemerintah Indonesia sebagai negara berpengaruh di ASEAN tidak bisa turut campur tangan dalam urusan dalam negeri Myanmar untuk menerapkan prinsip internasional, Responsibility to Protect (R2P), yaitu salah satu prinsip internasional yang diusung PBB yang menjelaskan jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi, ungkapnya di Bukittinggi, Minggu, (14/2/2021). 

Riyan juga mengungkapkan epicentrum kendala hukum dalam penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di ASEAN. "Kendalanya terutama adanya prinsip non intervensi dalam hukum internasional yang tercantum dalam Piagam ASEAN Pasal 2 Ayat (2) huruf e yang menyebutkan, bahwa negara-negara ASEAN tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam masalah domestik suatu negara, mengingat kondisi di Myanmar merupakan sengketa pemilu," terangnya. 

Prinsip non-intervensi ini merupakan prinsip yang menyatakan bahwa negara anggota ASEAN tidak campur tangan masalah internal negara anggota. Prinsip dasar ini mengatur agar negara ASEAN tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota dan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus tampaknya membelenggu ASEAN.

Terlepas bagaimana situasi berkembang minggu ini dan selanjutnya, demokrasi Myanmar yang rapuh telah dirusak oleh tindakan militer. Pemerintahan Aung San Suu Kyi jelas memiliki kekurangan, tapi kudeta adalah langkah sangat mundur bagi Myanmar dan kabar buruk bagi demokrasi di kawasan ASEAN. Apabila terdapat sengketa pemilu, tentu mekanisme melalui hukum harus dijalankan.

Selain solusi negara ASEAN harus mendesak Myanmar menyelesaikan permasalahan sengketa pemilu Myanmar melalui hukum, Riyan juga menyebut solusi lainnya dari masalah ini berdasarkan kajian hukum internasional dari PPKHI Kota Bukittinggi, seperti dengan melakukan revisi terhadap prinsip non-intervensi dalam Piagam ASEAN sehubungan terjadinya bencana kemanusiaan yang dialami etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar dan kali ini dengan adanya bencana demokrasi Myanmar dalam bentuk kudeta militer. Revisi ini bertujuan agar negara-negara ASEAN dapat bersama-sama membantu menanggulangi krisis Rohingya dan krisis demokrasi Myanmar.

Menurutnya prinsip non-intervensi ini kerap dijadikan tameng agar komunitas kawasan Asia Tenggara tak mencampuri masalah internal negara di kawasan, seperti halnya pada kasus Rohingya. Riyan mengatakan, prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN itu sudah tidak relevan dengan situasi di kawasan saat ini. Ia bahkan menganggap prinsip ini sebaiknya dihapus dari piagam ASEAN sehingga organisasi dapat lebih vokal dalam menangani situasi dan permasalahan di kawasan.

Alasan lainnya kenapa prinsip ini harus direvisi karna ada prinsip internasional, Responsibility to Protect (R2P), salah satu prinsip internasional yang diusung PBB yang menjelaskan jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi mencegah kejahatan kemanusiaan.

“Prinsip non intervensi di ASEAN harus direvisi. ASEAN sekarang harus berbeda dengan ASEAN pada 1967. Dulu, waktu ada genosida di Kamboja, yang lain diam. Itu saya rasa ASEAN jaman old, ASEAN jaman now harus berbeda dengan direvisinya prinsip non intervensi untuk melaksanakan Responsibility to Protect (R2P), salah satu prinsip internasional yang diusung PBB yang menjelaskan jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi mencegah kejahatan kemanusiaan," ujarnya.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Bedanya Alfamart, Indomaret dan Niagara?

Riyan : Jangan ada Intimidasi di Alek Gadang Pilkada Badunsanak Kota Bukittinggi

Kantor Hukum Riyan Permana Putra, S.H., M.H., & Rekan serta Kantor DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Telah Dibuka di Jalan Sutan Sjahrir Kota Bukittinggi

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Jalan Tengah Polemik Pasa Pabukoan di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bukittinggi

Ketua PPKHI Bukittinggi : Selamat Hari Perempuan Internasional, Pertahankan Keistimewaan Perempuan Minang

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi: Penghormatan kepada Buruh Tak Hanya Pesan HAM tapi juga Pesan Spiritual Islam

Hari Lahir Pancasila dan Peran Pengacara Bukittinggi sebagai Officium Nobile di Era Pandemi

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

[Profil Riyan Permana Putra] Bawaslu Bukittinggi Putuskan Verifikasi Faktual Ulang Pertama di Indonesia terhadap Bapaslon Independen, Riyan Permana Putra, S.H., M.H. Tim Hukum Bapaslon Walikota dan Wakil Walikota Independen Bukittinggi yang Menangkan Sengketa atas KPU Bukittinggi