Bersatu Menghentikan Korupsi di Ranah Minang
Bersatu Menghentikan Korupsi di Ranah Minang
Oleh : Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap
dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki,”
demikian ungkap Moh. Hatta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minggu lalu mengejutkan
Ranah Minang dengan menetapkan salah satu kepala daerah di daerah itu sebagai
tersangka korupsi. Wali Kota Solok Selatan dijadikan tersangka dalam kasus korupsi
proyek Jembatan dan pembangunan Masjid
Solok. Dimana anggaran untuk pembangunan Masjid sebesar Rp 55 miliar dan untuk
jembatan sebesar Rp 14,8 miliar. Langkah KPK yang mulai bergerak memangkas
korupsi di daerah patut diapresiasi, mengingat korupsi di daerah tumbuh subur
sejak otonomi daerah diimplementasikan tahun 2004.
Mengkhianati cita-cita reformasi
Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi
dan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak reformasi bergulir. Namun
bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan
pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan. Terbukti, banyak kepala
daerah terlibat kasus korupsi.
Reformasi yang semestinya bisa menekan kecenderungan korupsi
yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru
ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan menyebarluaskan
korupsi. Jika dulu para bupati, apalagi
camat, sulit korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak yang dipenjara karena
korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level
yang memiliki wewenang.
Dari catatan KPK sejak 2004 hingga 2019, Terdapat 124 Kepala
Daerah Terjerat Korupsi tersandung kasus korupsi APBD. Korupsi tersebut sejalan
dengan besarnya kewenangan dan kekuasaan kelola anggaran oleh daerah. Bukan
hanya kepala daerah, pejabat birokrasi sekelas eselon II yang memimpin Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ataupun anggota DPRD juga banyak yang terlibat korupsi
berjamaah.
Dalam berbagai literatur tentang korupsi kepala daerah yang
massif, selalu disimpulkan korupsi kepala daerah terjadi karena mahalnya ongkos
demokrasi lokal. Untuk menjadi kepala daerah harus maju lewat pencalonan partai
politik yang membutuhkan mahar sangat besar. Demikian pula dalam prosesi kompetisi
pilkada membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Rata-rata calon kepala daerah
membutuhkan biaya minimal Rp 10 miliar untuk bisa melenggang menjadi kontestan
dalam pilkada. Tentu saja jika menang dalam pilkada yang dipikirkan adalah
mencari imbal balik dengan melakukan korupsi APBD. Pada Bulan Desember 2019
lalu, Riza Falepi calon gubernur Sumatera Barat dari Partai Keadilan Sejahtera mengungkapkan
kepada media nasional bahwa jika mau bertarung di Pilkada Sumatera Barat, dibutuhkan
"isi tas" minimal Rp 30 Miliar.
Hasil penelitian dari Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) tahun 2016 menyebutkan penyebab Kepala Daerah melakukan
korupsi, yaitu monopoli kekuasaan, diskresi kebijakan, lemahnya akuntabilitas,
biaya pemilukada langsung yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan
keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, dan terakhir pemahaman terhadap
konsep budaya yang salah. Dan menurut laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) politik uang
masih kerap terjadi pada penyelenggaraan pilkada. Saat kampanye, terjadi
politik uang di 21 kabupaten pada 10 provinsi. Saat masa tenang, sebanyak 311
kasus money politik di 25 Kab/kota pada 16 Provinsi. Saat pemilihan, terjadi 90
kasus money politik di 22 Kabupaten pada
12 provinsi.
Akar Korupsi Kepala Daerah
Adnan Topan Husodo menjelaskan maraknya kasus korupsi di
daerah yang dominan pelakunya adalah anggota DPRD dan kepala daerah selama ini
merupakan cermin buruknya kualitas politikus kita. Hal itu tidak dapat
dilepaskan dari model dan sistem rekrutmen politik yang kental dengan aroma
uang. Dalam korupsi elektoral dikenal empat bentuk korupsi, yakni pembelian
kandidat (candidacy buying) atau pembelian kursi (seat buying), pembelian
pengaruh, pembelian administrasi elektoral (administrative electoral buying),
dan pembelian suara (vote buying).
Keempat bentuk korupsi elektoral itulah yang menyeret para
politikus masuk dalam siklus korupsi politik. Investasi politik yang sangat
mahal untuk menjadi calon atau kandidat pejabat publik mendorong terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan pada saat mereka berkuasa. Hal pertama yang dipikirkan
setelah mereka menjabat dalam situasi ketika proses politik itu dipenuhi dengan
praktek suap adalah bagaimana mengembalikan dengan cepat modal yang telah
dikeluarkan. Tak mengherankan bila kemudian korupsi yang melibatkan DPRD dan
kepala daerah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, seorang calon kepala daerah harus lewat partai
politik. Artinya, calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Setelah UU tersebut diubah, seorang calon tidak hanya boleh maju lewat
partai politik. Bisa juga lewat jalur independen (perseorangan). Tetapi,
syaratnya, harus mampu mengumpulkan dukungan 3-6 persen jumlah penduduk di
daerah yang bersangkutan.
Nah, mendapatkan rekomendasi pencalonan dari partai politik
atau mendapatkan dukungan dengan KTP bagi calon independen tidak gratis. Harga
rekomendasi partai bisa miliaran rupiah. "Biaya fotokopi KTP" sebagai
bukti dukungan untuk calon independen bisa ratusan juta rupiah.
Setelah resmi menjadi calon lewat partai ataupun jalur
independen- dia harus siap mengeluarkan dana besar lagi agar terpilih. Dia
harus menjadi dermawan dadakan. Dia harus rajin datang ke kelompok-kelompok
calon pemilih. Jika datang ke suatu tempat, dia harus membawa oleh-oleh. Atau,
ketika pulang, calon harus ninggali sesuatu di tempat tersebut.
Praktik korupsi kepala daerah sendiri sudah lama terindikasi
dengan banyaknya kepala daerah yang memiliki rekening gendut. Bahkan Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) mengungkap praktik tindak
pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan kepala daerah. Pejabat tersebut
diduga menyimpan uang Rp 50 miliar ke rekening kasino (perjudian) luar negeri. Temuan
tersebut diungkapkan Ketua PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, dalam refleksi PPATK
selama periode 2019. Kiagus sengaja membeberkannya ke publik untuk memberikan
efek jera.
Upaya menghentikan korupsi di Ranah Minang
Langkah pertama yang harus segera dilakukan untuk
menghentikan korupsi di Ranah Minang ini adalah dengan membangkitkan rasionalitas
pemilih ditandai dengan semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa
kandidat yang layak untuk menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan
penilaian visi dan misi, integritas kandidat, kualitas individu dan programnya,
bukan pilihan-pilihan karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu
kelompok. Melalui kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit, para politikus korup
yang selama ini memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari
arena politik. Meskipun jabatan pengganti kepala daerah di Sumatera Barat yang
ikut pilkada di 2020 ini hanya 3 tahun dan 9 bulan saja. Karena pada Pasal 201
ayat 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, telah diatur Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota hasil
pemilihan 2020 akan berakhir masa jabatannya di tahun 2024.
Artidjo Alkostar, dalam tulisannya yang mengutip pendapat
Jamil, mengatakan keruntuhan bangsa besar romawi ditandai oleh ketidakmampuan
mengendalikan nafsu. Para pejabat negara lebih mengutamakan interes dan
kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Hal yang
sama terjadi di dunia Islam. Sebelum jatuhnya Kota Baghdad yang pernah menjadi
peradaban dunia ke tangan Bangsa Tartar para petinggi Abbasiyah mengutamakan
kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan dari pada kepentingan bangsa dan
negara. Mereka suka bermewah-mewah menurutkan hawa nafsu. Hal yang sama juga
akan terjadi di Ranah Minang jika korupsi di Ranah Minang tidak segera
dihentikan. Karakter korupsi yang dimiliki pemimpin ranah ini, jika tak segera
dihentikan, maka dapat dipastikan bahwa ranah akan terus berada level terbawahnya
dalam mewujudkan Ranah Minang yang sejahtera dan madani.
Kedua, mendesain dan menata ulang pelayanan publik di daerah,
terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan
kepada masyarakat sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memudahkan masyarakat
luas mendapatkan pelayanan publik yang profesional, berkualitas, tepat waktu
dan tanpa dibebani biaya ekstra/ pungutan liar; Ketiga, memperkuat
transparansi, pengawasan dan sanksi, pada
kegiatan-kegiatan pemerintah daerah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber
daya manusia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya negara dan sumber daya manusia serta memberikan akses terhadap
informasi dan berbagai hal yang lebih memberikan kesempatan masyarakat luas untuk
berpartisipasi di bidang ekonomi;
Keempat, memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi, yaitu berupa e-goverment dan e-procurement, sebagai bagian dari
upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Ranah Minang; dan Kelima, meningkatkan
pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Tujuannya adalah
untuk menegakan prinsip “rule of law,” memperkuat budaya hukum dan memberdayakan
masyarakat agar bersatu dalam proses pemberantasan korupsi, apalagi peran serta
masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 2000.
Komentar
Posting Komentar