Riyan Sebut Pelaporan AJ oleh Keluarga Pemimpin Bukittinggi dapat Diselesaikan secara Mediasi


Riyan Sebut Pelaporan AJ oleh Keluarga Pemimpin Bukittinggi dapat Diselesaikan secara Mediasi

Bukittinggi - Pada hari ini, Jum'at tanggal 23 Juli 2021 Pelapor salah satu keluarga pemimpin Bukittinggi didampingi Kuasa Hukum keluarga, melaporkan dugaan adanya tindak pidana UU ITE ke Polres Bukittinggi tentang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian terhadap di akun Facebook dengan terduga pemilik akun medsos yang berinisial (AJ). Kuasa Hukum Keluarga Pemimpin Bukittinggi mengatakan, bahwa didalam akun facebook tersebut diduga AJ telah  melecehkan dan menghina serta memberikan ancaman terhadap keluarga Pemimpin Bukittinggi.

Menanggapi pelaporan ini, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI), Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menjelaskan, "Bahwa terlapor UU ITE AJ oleh keluarga Pemimpin Bukittinggi seharusnya bisa diselesaikan secara mediasi karena hukum pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium). Terkait pelaporan Pemimpin Bukittinggi memang kewenangan penyidik untuk menentukan apakah perbuatan terlapor tersebut memenuhi unsur dari pada pasal yang dilaporkan tersebut. Namun kita tunggu saja penegak hukum untuk melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap kasus tersebut. Semoga saja tetap mengedepankan keadilan restoratif justice sesuai dengan SE Kapolri, Surat edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Namun, jika kasus tersebut dianggap tidak memenuhi unsur oleh penyidik, maka kasus tersebut sudah pasti di Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dan ditutup," katanya di Bukittinggi pada Jumat, (23/7/2021).

Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengarahkan Kementerian Hukum dan HAM untuk menyiapkan revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) dan kepolisian untuk membuat pedoman interpretasi terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU tersebut.

Jokowi melihat langkah ini perlu karena ada beberapa pasal dalam aturan tersebut yang dianggap multitafsir, termasuk pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian.
Inisiatif Jokowi ini datang setelah bertahun-tahun aktivis hak asasi manusia (HAM) mengkritik adanya pasal-pasal karet dalam UU tersebut, dan penggunaannya dalam mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah.

Lalu Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta seluruh jajarannya untuk mengedepankan langkah mediasi dalam penyelesaian kasus terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Menurut Sigit, mediasi akan menekan perselisihan atau pertentangan di masyarakat. "Kalau sifatnya hanya pencemaran nama baik, kemudian hal-hal yang seperti itu ya bagaimana kemudian kita selesaikan dengan cara yang lebih baik. Bila perlu kalau memang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal, enggak perlu ditahan, proses mediasi," ucap dia dalam Rapat Pimpinan (Rapim) 2021 di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, pada 16 Februari 2021.
Selain itu, Sigit menilai, penerapan UU ITE selama ini sudah tidak sehat. UU ini digunakan untuk saling melapor. Ia menilai tindakan itu memunculkan polarisasi di masyarakat. Dia mengatakan Presiden Jokowi juga memberikan perhatian mengenai peristiwa tersebut.

Dalam UU ITE sendiri Riyan menyatakan berdasarkan Kajian PPKHI Bukittinggi ada tiga klasifikasi ujaran kebencian, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya.

Seharusnya kasus pidana penyampaian pendapat di media sosial yang dilaporkan oleh keluarga pemimpin Bukittinggi melalui pengacaranya tersebut dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif yang menitikberatkan pada peranan pelaku dan korban dalam penyelesaian masalah.

Penyampaian pendapat di media sosial yang dituduhkan oleh Pemimpin Bukittinggi ini diduga kurang tepat untuk diajukan ke ranah hukum pidana. Pendekatan yang lebih tepat adalah lewat kebijakan edukasi dan pencegahan misalnya dengan advokasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan censorship yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media.

Menurut kajian kami PPKHI Bukittinggi larangan beserta sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau neccessity yang dapat dinilai berdasarkan enam faktor. Pertama, konteks, yaitu suatu ujaran kebencian harus berkaitan dengan konteks sosial atau politik tertentu pada saat ucapan itu dibuat dan disebarluaskan.

Kedua, status atau posisi pelaku ujaran kebencian dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan. Ketiga, kesengajaan. Merujuk pada Pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens, dalam arti, pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakkan orang lain.

Keempat, konten dan bentuk. Artinya, suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan. Kelima, jangkauan ujaran kebencian yang melibatkan penilaian terhadap sifat audiens yang dituju, keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya. Dan Keenam, kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut.

Terakhir yang paling penting saat menyikapi pelaporan AJ ke Polres Bukittinggi oleh keluarga Pemimpin Bukittinggi yang harus kita ingat bahwa hukum pidana bersifat ultimum remedium atau sarana terakhir penindakan, maka penyampaian pendapat di media sosial yang dituduhkan oleh pemimpin Bukittinggi ini diduga kurang tepat untuk menempuh ranah hukum pidana. Pendekatan yang lebih tepat adalah lewat kebijakan edukasi dan pencegahan misalnya dengan advokasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan censorship yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media. Pemimpin Bukittinggi perlu memulai menerapkan pendekatan lain untuk mencegah dan menyelesaikan kasus ujaran kebencian tanpa penyalahgunaan hukum pidana karena pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium). Apalagi Kapolri sendiri menyarankan penyelesaian pidana UU ITE ini diselesaikan secara mediasi terlebih dahulu sesuai dengan SE Kapolri, Surat edaran itu bernomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif," tutup Alumni Universitas Indonesia ini.(*)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Riyan Permana Putra, S.H., M.H. ajak Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia Bergabung menjadi Anggota Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI)

Lahirnya Tokoh Muda Penuh Integritas dan Idealisme di Kota Bukittinggi

Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Dipercaya menjadi Pengurus DPD Bapera Sumatera Barat

Riyan Ketua PPKHI Bukittinggi Tanggapi Keinginan PSI Sumatera Barat yang Ingin Menjadi Oposisi di Sumatera Barat. Seharusnya Pola Hubungan Kerja Antara Partai Politik di DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam Fatsun Demokrasi Indonesia adalah Sejajar, Seirama, dan Selaras

FPII Korwil Bukittinggi - Agam Gelar Buka Bersama dan Konsolidasi

Ketua PPKHI Bukittinggi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-4 kepada LAKATAS dan Ungkap Peran Penting LAKATAS sebagai Civil Society

Salah Satu Dugaan Epicentrum Masalah Proyek di Jalan Perintis Kemerdekaan Bukittinggi

Perlunya Penguatan Alutista Maritim Pasca Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402

Riyan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi Tanggapi Penurunan Stok Darah di Kota Bukittinggi dan Tegaskan Ketersediaan Darah Tanggung Jawab Pemerintah Daerah

Pandemi Marakkan Lagi Pinjaman Online, LBH Bukittinggi Buka Posko Pengaduan Korban Pinjaman Online